BAB [17]

1.7K 98 2
                                    

Salah satu hal yang paling indah adalah apa yang kita inginkan selama belasan tahun bisa tercapai, perasaan seperti kini sedang menghampiri Anggi, saat ini dirinya sedang menunggu dengan resah detik-detik pertunangannya dengan Arka.

Anggap saja ini terlalu cepat, tapi jika untuk tujuan baik, untuk apa menunda-nunda bukan? Jika dia dan Arka sudah diikat okeh pertunangan, maka jalan menuju gerbang pernikahan tidak akan tampak terlalu tergesa-gesa.

Oke, sebenarnya semuanya memang terlalu cepat. Tapi Anggi tidak perduli, Arka bahkan meminta ijin pada Angga untuk menikahinya hari itu juga, hari di mana dia memberitahu pria itu tentang pilihannya. Tapi Angga menolak mentah-mentah dan mengatakan kalau mereka berdua harus bertunangan terlebih dulu.

Kejadian tersebut baru dua hari berlalu, tapi Anggi merasa sudah menunggu dengan sangat lama. Dia tidak mempermasalahkan acara pertunangan yang digelar secara sederhana, dan hanya dihadiri oleh beberapa kerabat dekat serta teman-teman Anggi dan Arka.

Anggi tidak bisa menyembunyikan rekahan senyum di bibirnya, satu minggu setelah ini, dia akan resmi menjadi Istri sah Arka di hadapan publik dan di hadapan Tuhan. Mereka sudah berusaha meminimalisir agar kabar ini tidak tercium oleh media, tapi kabar burung tetap beredar di dunia maya.

Semuanya bertanya-tanya tentang kabar pertunangan anak CEO pemilik stasiun televisi terbesar yang ada di Indonesia, semua orang juga tahu siapa anak CEO tersebut, karena selama ini Arka sering terlibat dalam proses syuting; jika ada talk show mengenai ibu hamil dan calon bayi yang dikandungnya.

"Sayang," Anggi menoleh saat suara lembut Ibunya terdengar, dia memutar kepala dan mendapati wanita yang telah melahirkannya itu tersenyum lembut.

"Ma," Anggi tersenyum sambil merentangkan tangan, kebaya yang dia kenakan sedikit mempersulit ruang geraknya. "Anggi sayang Mama," dia menyambut pelukan wanita itu dengan sangat erat, sementara perasaan haru meliputi hatinya.

"Mama tahu hari ini akan datang," Aini—Mamanya Anggi—melepas pelukan, lalu mengusap pipi anak gadisnya itu dengan sayang. "Mama ngerasa waktu berlalu sangat cepat, padahal perasaan baru kemari Mama mandiin sama nyuapin kamu," keharuan serta rasa sedih tidak bisa Aini sembunyikan dengan baik.

Dia turut bahagia atas pertunangan anaknya tersebut, tapi nalurinya sebagai seorang Ibu tetap merasa sedih. Sekalipun di mata orang Anggi sudah besar dan cukup umur untuk menikah, tapi bagi Aini, Anggi tetaplah gadis kecilnya, gadis yang biasa menempel padanya saat membersihkan rumah. Gadis yang tidak akan pernah mau tidur jika tidak dalam pelukannya.

"Maafin Anggi ya, Ma?" Anggi kembali memeluk tubuh Aini, dia menyandarkan kepala dalam pelukan hangat wanita itu. "Maaf karena Anggi sudah dewasa, maaf karena Anggi sebentar lagi akan menikah."

Aini terkekeh pelan, "Gak apa-apa, sayang. Mama akan seneng selama kamu bahagia, jadilah Istri yang baik buat Suami kamu," wanita yang umurnya dua kali lipat dari Anggi itu mengusap lembut punggungnya, "Semoga kamu bisa jadi Ibu yang baik buat Anak-anak kamu nantinya."

"Aamiin," Anggi bergumam, hatinya dipenuhi keinginan untuk mewujudkan kata-kata yang disampaikan oleh Ibunya barusan. "Insyaallah Anggi akan terus belajar, Mah," ada janji dan kebulatan tekad dalam suaranya, "Anggi pengen Kak Arka gak menyesal karena udah maksa Anggi buat nikah sama dia."

"Haha, kalian harus saling melengkapi satu sama lain," Aini berkata bijak, "Setiap orang memiliki sisi buruk dan sisi baik, jika Suami kamu memiliki sisi buruk, kamu boleh menerimanya, tapi Mama menyarankan agar kamu memperbaikinya juga. Tidak ada yang salah jika kita ingin memperbaiki keburukan orang lain."

"Tapi nanti kalau kesannya ngubah kebiasaan orang tersebut gimana?" Anggi mengutarakan pertanyaan yang bersarang dalam kepalannya.

"Enggak Sayang, hanya orang-orang yang berpikiran Kekanakan yang akan beranggapan seperti itu, karena jika orang tersebut sudah memiliki pemikiran dewasa, maka dia akan tahu bahwa menjadi lebih baik adalah hal yang benar."

Anggi mengangguk sambil menanamkan pemahaman tersebut dalam kepalanya, "Karena tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini, maka dari itu sampai tua sekalipun, kita memang harus terus belajar dan belajar lagi, banyak hal baik yang bisa dipetik dalam kehidupan. Bahkan dalam setiap musibah sekalipun, di dalamnya akan selalu ada hikmah yang bisa diambil."

"Makasih ya, Ma. Nasehatnya berguna banget buat Anggi."

"Iya Sayang," Aini meminta Anggi berdiri dan merapihkan bajunya yang terlipat, "Oh ya ampun Mama lupa," Aini tersenyum masam saat dirinya teringat sesuatu.

"Ada apa, Ma?" Anggi khawatir kalau ada sesuatu yang gawat.

"Mama ke sini itu buat ajak kamu turun, Arka sama keluarganya udah pada dateng," Aini mengandeng tangan Anggi untuk keluar ruangan. "Gara-gara keasikkan ngobrol, jadi lupa deh."

Anggi hanya bisa tersenyum seadanya, mendengar Arka dan keluarganya sudah datang... Entah mengapa dia merasa perutnya berubah menjadi tidak nyaman, katakan saja itu menggelikan, dia dan Arka sudah saling mengenal sejak masih kanak-kanak. Tapi membayangkan dirinya akan bertemu dengan calon suaminya, Anggi merasa jantung dan hatinya melakukan persekongkolan untuk membuat perasaannya jadi tidak menentu.

"Ma, Anggi kayaknya mau pipis," Anggi yakin kalau dirinya ingin ke kamar kecil.
Tapi Aini malah terkekeh dan terus membawanya menuju tangga yang mengarah langsung ke ruang pertemuan. "Itu mah biasa, Mama juga dulu gitu. Udah gak apa-apa, kamu cuma nervous dan deg-degan aja, makanya berasa mau pipis."

"Emang gini ya, Ma?" Anggi khawatir kalau dirinya akan melakukan hal yang bisa membuatnya malu.

"Iya gak apa-apa, kamu tarik napas yang banyak aja," Aini meyakinkan dan Anggi segera melakukannya.

Jantungnya semakin terasa melompat-lompat saat Anggi sudah berada di deretan anak tangga, semua orang yang ada di ruangan bawah menoleh, ruangan yang semula dipenuhi percakapan dan canda tawa, seketika berubah hening. Sementara mata mereka tertuju padanya, Anggi hanya menunduk sambil berusaha menenangkan detak jantungnya yang menggila.

Tapi diam-diam dia sedikit mendongak untuk melihat siapa saja yang ada di ruangan tersebut, setelah menatap sekilas beberapa orang yang dikenalnya. Kali ini jantung Anggi terasa mau lepas saat dia menatap mata sekelam malam, rahang tegas dengan raut wajah tidak terbaca itu menatapnya dengan lekat. Anggi bahkan merasa takut akan tergelincir saat wajah tampan Arka menyunggingkan senyum salah tingkah, sebuah senyuman yang malah semakin membuat Anggi terpesona.

Prianya.

Itulah kata pertama yang Anggi ucapkan dalam hati, pria yang memiliki ketampanan di atas rata-rata, tubuh tegap bak atlet milik Arka terbalut dalam stelan formal pas badan. Anggi yakin kalau Arka sebenarnya memakai jas, tapi jas tersebut saat ini sudah tanggal. Menyisakan kemeja putih lengan panjang yang mencetak jelas otot perutnya.

Anggi merona saat melihat tangan Arka meraih kerah baju dan melonggarkan dasi, tidak berhenti sampai di situ, tangan Arka sudah meraih dua kancing teratas dan membukanya. Tatapannya matanya tidak lepas dari Anggi, pria itu seolah bisa kehabisan napas jika tidak melonggarkan pakaian tersebut.

"Ehm! Kepanasan, Bro?!" Suara Natha memecah kontak mata di antara mereka, dan seketika semua orang menatap ke arah Arka, lalu detik berikutnya mereka terbahak.
Untuk pertama kalinya sejak mengenal Arka, Anggi bisa melihat kalau wajah pria itu merah padam.

Ya ampun.

***

Tengah hari share aja, ah. Kalau aku habis share terus ngilang atau hiatus gak apa-apa kali ya haha. *semoga gak digerus*

Mr And Mrs Players Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang