BAB [15]

1.8K 93 1
                                    

Sakit adalah hal pertama yang Arka rasakan saat dia membuka matanya. Kepalanya terasa nyeri dengan kadar berlebih, sementara itu tubuhnya terasa pegal dan tidak bertenaga. Arka bahkan harus berusaha mengingat apa yang sudah dia lakukan; hingga membuatnya merasa lemah seperti itu.

Matanya menatap langit-langit kamar dengan perasaan tidak menentu, beruntung pencahayaan hanya terdapat dari gemerlap malam kota Jakarta. Lampu di ruangan tersebut dimatikan, sehingga hanya menyisakan cahaya remang, yang membuat matanya cepat beradaptasi dengan sekitar.

"Di mana gue?" Arka berusaha mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, dia berusaha mengenali tempat sekitar. Namun saat matanya menatap ke arah ke samping, seketika jantungnya terasa jatuh dari tempat keberadaannya. Untuk beberapa detik yang terasa selamanya, Arka hanya diam membantu dengan tatapan nanar, sekalipun dalam cahaya minim, tapi matanya masih bisa mengenali kalau yang tertidur di sampingnya adalah seorang wanita.

Perlahan Arka menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu jantungnya kali ini entah sudah menjadi apa. Dia sudah berganti pakaian! Dan demi segala yang ada di dunia, Arka tidak pernah sekalipun mengijinkan wanita untuk melihat tubuhnya, baiklah katakan saja dia playboy, atau pria yang suka berganti teman kencan, tapi Arka menjaga dirinya dengan sangat hati-hati.

Dia adalah orang yang memegang teguh kesucian diri, dia memang tidak pernah percaya pada komitmen. Tapi bukan berarti dia bisa menabur benih di sembarang tempat, profesinya yang sebagai dokter kandungan, membuat dirinya menghargai wanita jika sudah menyangkut keturunan. Dia tidak ingin mempunyai anak di luar nikah atau semacamnya, sudah terlalu banyak remaja yang menangis di depan meja kerjanya, mereka meminta bantuan dirinya untuk melakukan aborsi.

Hal tersebut membuat Arka merasa miris, sebegitu bejatkah moral anak muda jaman sekarang? Bahkan dia pernah menemukan pasien di bawah umur. Remaja yang seharusnya masih memakai seragam putih biru, namun gadis itu sudah harus berjuang menjadi seorang ibu di usia yang belum—bahkan menurut Arka sangat tidak layak—untuk menjalankan peran tersebut.

Jika kalian bertanya apakah Arka pernah sekali saja membantu pasiennya untuk melakukan aborsi, maka jawabannya adalah tidak. Dia tidak pernah melakukan hal ilegal seperti itu, kecuali pernah satu kali, dirinya membantu seorang wanita, yang harus mengeluarkan bayinya yang sudah meninggal di dalam perut.

Wanita itu memiliki suami, dan keluarganya setuju untuk melakukan hal tersebut. Itu demi keselamatan sang Ibu, karena jika bayi tersebut tidak dikeluarkan, maka dapat dipastikan nyawa sang Ibu juga bisa terancam.

Arka kembali tersadar dari pikirannya tentang wanita dan bayi yang tidak berdosa, dia kembali mengedarkan pandangan ke sekitar, lalu menarik napas lega saat mengenali tempat tersebut yang juga adalah kamarnya. Arka beranjak pelan ke sisi ranjang, lalu dia berlutut di sisi wanita yang saat ini masih terlelap dengan posisi yang sangat tidak nyaman tersebut.

Kebahagiaan seketika merebak dalam dadanya, Arka sangat yakin kalau wanita yang tidur di tepi ranjangnya itu adalah Anggi, wajah gadis itu terlihat lelah, bahkan keningnya berkerut, seolah ada mimpi buruk yang mengejarnya hingga ke alam mimpi.

"Terima kasih," Arka berucap pelan, sementara tangannya terulur dan merapihkan anak rambut yang menutupi wajah Anggi. Meski masih merasa sakit, tapi Arka memaksakan diri untuk memindahkan tubuh Anggi ke atas tempat tidur. Setelah mengumpulkan segenap tenaga yang tersisa, akhirnya Arka berhasil memindahkan Anggi tanpa membuat gadis itu terbangun.

"Cinta emang bisa memberi kekuatan."

Arka berkata sambil senyum-senyum sendiri, dia tidak habis pikir dengan tenaga baru yang tiba-tiba saja bisa dimilikinya. Anggi yang semula diletakan dengan posisi tidur terlentang, saat ini sudah bergerak dan merubah posisi menjadi menyamping. Hal tersebut semakin membuat Arka gemas, dia merebahkan diri di kasur, sementara wajahnya berada tepat di depan wajah Anggi.
Arka sengaja sedikit memberi jarak di antara mereka, dia tidak ingin Anggi terbangun karena terkena deru napasnya.

Andai kamu tahu, Gi. Sekalipun di awal malam aku mendapat rasa sakit yang bertubi-tubi, tapi setidaknya di penghujung malam kamu ada di sini, penawar rasa sakitku, aku harap ini bukan mimpi yang akan memudar.

Tepat setelah Arka berkelakar dalam mati, diam-diam matanya perlahan ikut terpejam. Kesadarannya kembali diambil alih oleh alam bawah sadar, dia terlelap sambil menyunggingkan senyum di bibir tipis berwarna kemerahannya. Bisa berduaan dengan Anggi seperti itu adalah hal yang tidak bisa dia jabarkan seperti apa, rasa bahagia yang meluap-luap, hatinya nyaris meledak karena perasaan asing yang baru pertama kali menyapa hidupnya.

***

Happy reading, sisanya bayangin sendiri dulu haha

Mr And Mrs Players Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang