Bab [9]

1.7K 102 3
                                    

Anggi baru saja pulang dari butiqe dan makan di cafe bersama Revan, dia terpaksa ikut dengan pria itu untuk menenangkan hatinya. Reval masih sering mengutarakan keinginan untuk berpacaran dengannya, dan Anggi selalu berusaha menolak dengan mengatakan bahwa dirinya masih ingin sendiri.

Hati Anggi tidak pernah berpaling pada pria lain, hatinya masih tetap milik Arka, sejauh apapun dia berusaha melarikan diri. Perasaan tetaplah sesuatu yang tidak bisa dimanipulasi dengan cara apapun, dia mungkin bisa berpura-pura kalau sudah tidak mencintai Arka.

Tapi perasaannya menjelaskan secara detail bahwa asa untuk pria itu tidak pernah berubah. Hati, pikiran, serta hidup yang Anggi jalani, semuanya dipenuhi bayangan Arka yang terus menari dalam benaknya. Tapi selama ini dia terlalu sakit karena harus menelan rasa kecewa. Mencintai seseorang secara diam-diam itu memang menyakitkan, tapi lebih menyakitkan adalah mencintai orang yang mengetahui perasaanmu, namun tidak pernah membalasnya.

Bertahun-tahun Anggi hidup dalam rasa sakit seperti itu, dan ketakutan akan sikap Arka masih membuatnya ragu, satu minggu sudah sejak dia menjawab lamaran Arka dengan kata meminta waktu, tapi selama itu pula dia masih belum bisa menentukan pilihan. Jika dia memilih untuk menerima lamaran tersebut, dia harus mempersiapkan diri untuk terluka. Tapi jika dia menolak, dan melepaskan kesempatan besar untuk bisa hidup bahagia dengan orang yang dicintainya... Mampukah dia menelan kepedihan lain? Rasa nyeri yang akan datang seperti batuan gunung yang longsor ke arahnya.

"Gi, kok ngelamun?" Suara seorang wanita membuat Anggi menoleh, dia mendapati Rina—kakak iparnya—sudah berdiri di depan pintu kamar sambil tersenyum lembut. "Masuk, Kak," Anggi yang tadi sedang berbaring kini sudah duduk tegak, dan bersandar pada kepala ranjang. "Udah lama datang? Tumben main ke sini malam-malam."

"Kamu kayaknya masih banyak pikiran ya?" Tanya Rina, dan Anggi mengangguk sebagai jawaban, sementara Rina tersenyum maklum dan meraih tangan Anggi untuk digenggamnya. "Kamu udah coba pikirin dengan hati tenang?"

"Maksud, Kakak?" Anggi tidak menyembunyikan fakta bahwa dirinya tidak mengerti dengan apa yang dikatan oleh Istri Kakaknya itu.

"Kamu masih belum tahu mau nerima lamaran Arka atau gak, kan?" Pertanyaan Rina dijawab Anggukan cepat oleh Anggi, "Kalau kamu masih pusing dan gak tahu mau gimana, coba aja sholat malam buat minta petunjuk, kamu harus menjernihkan pikiran kamu. Bayangin kalau kamu kehilangan Arka dan ngeliat cowok itu dimiliki oleh cewek lain," Rina menatap Anggi sambil tersenyum lembut.

"Kamu harus menggunakan hati tenang saat memikirkannya, jika hati kamu merasa sakit, sedih dan marah kalau ngeliat Arka nikah sama cewek lain, itu berarti kamu harus menerima lamaran dia," ada keraguan dalam sorot mata Anggi, gadis itu tampak sedang berpikir keras dan berusaha mempraktekan nasehat Rina. Membayangkan Arka dengan wanita lain... itu lebih menyakitkan. Dan Anggi merasa jantungnya seperti diremas dengan cara yang tidak wajar, lalu direnggut dari tempat keberadaannya.

"Tapi kalau kamu merasa baik-baik saja saat bayangin Arka nikah sama cewek lain, itu tandanya kamu sudah berhasil move on, dan sukses membunuh perasaan kamu buat cowok itu."

"Tapi aku gak mau liat Kak Arka sama cewek lain," Anggi berkata dengan wajah memelas, sementara kantung matanya sudah dipenuhi bulir air mata yang siap menetes.

"Itu tandanya kamu masih cinta sama Arka," Rina membawa tubuh Anggi ke dalam pelukannya. "Kalau begitu kamu harus kejar dia sebelum berubah pikiran, terkadang kesempatan memang gak pernah datang sampai dua kali," Anggi merasa lebih baik saat Rina terus menepuk punggungnya, sementara dia terisak dalam dekapan Kakak iparnya itu.

"Ehm," suara seseorang membuat Anggi melepaskan diri dari pelukan Rina, lalu dia menoleh ke arah lain saat mengetahui kalau Angga sudah ada di kamarnya. "Masih galau, Gi?" Angga bertanya dengan santai, dan dia sukses mendapat pelototan dari Rina istrinya.
"Cowok itu di mana-mana selalu gak peka," ucapan kesal Anggi hanya dijawab dengusan oleh Angga. Lalu tempat tidur di sisi lain bergerak, saat Angga duduk di atasnya dan menatap Anggi dengan tatapan sedih, Adiknya sudah terjebak pada cinta monyet yang tumbuh menjadi cinta pertama, bahkan setelah banyak tahun yang dilewati, Anggi tetap saja tidak bisa melupakan Arka si playboy yang sering berganti teman wanita.

"Gi," Angga memanggil nama Adiknya dengan suara lembut, tapi gadis itu hanya bergumam pelan tanpa berniat untuk menoleh ke arahnya. "Kakak tahu sikap Arka selama ini sama cewek gimana, selama ini Kakak juga gak setuju kalau kamu deket-deket sama dia," Angga mengusap rambut Anggi dengan sayang, posisi gadis itu saat ini sedang membelakanginya.

"Tapi Kakak sadar ketika Arka nekad buat ngelamar kamu sama Mama dan Papah, Arka itu bukan cowok yang percaya soal komitmen, dia adalah orang yang anti banget sama yang namanya sebuah hubungan. Tapi sama kamu, dia rela terikat seumur hidup, bahkan mungkin saja Arka rela mengikat dirinya asal itu tetap berada di sisi kamu."

Anggi menoleh dengan sangat cepat, dia menatap Angga sambil berurai air mata. Sekalipun Arka sudah menjelaskan hal tersebut ketika pria itu melamarnya. Tapi penjelasan Angga seperti tangga penopang dan kekuatan; yang membuat pilihannya bisa berdiri tegak.

"Kalau kamu marah soal tiga bulan dia jauhin kamu, itu salah Kakak. Arka udah minta ijin sama Kakak sejak lama buat deketin kamu, tapi saat itu Kakak yang egois dan takut dia cuma main-main, akhirnya Kakak suruh dia buat jauhin kamu."

"Ka Angga....," hati Anggi seperti barusaja disambar petir di tengah terik matahari, Arka sudah meminta ijin dari Angga? Selama ini dia tidak tahu kalau Arka pernah melakukan hal tersebut, pria itu pandai menutupi perasaan, dan menorehkan luka yang tidak tanggung-tanggung saat menjauh tanpa alasan.

"Maafin Kakak ya," Angga mengusap air mata yang mengalir di pipi Anggi menggunakan telapak tangannya. "Tiga bulan itu salah Kakak, Arka udah gak tahan jauh sama kamu, makanya dia langsung datang ke rumah buat ngelamar, dia juga udah ngelawan Kakak dan bilang gak akan mau nurut lagi, sekalipun Kakak musuhin dia gara-gara mau nikahin kamu."

"Kak Angga gak lagi bohong kan?" Anggi hanya ingin menyakinkan diri, kalau Kakaknya itu tidak sedang membual dan mengarahkan dirinya pada pilihan yang salah.

Angga menggeleng sambil tersenyum lemah, sementara matanya menunjukan penyesalan. "Kamu sangat berarti bagi hidup Dokter muda itu, Arka secara terang-terangan rela ngebuang sahabatnya sendiri hanya demi untuk bisa hidup sama kamu."

Tepat setelah ucapan Angga selesai, Anggi menangis dan meluapkan tekanan batin yang satu minggu ini dialaminya. Dia ingin membuang semua rasa sedih, dan memulai hati yang baru untuk menjalani masa depannya. Anggi tahu hatinya akan berlabuh di mana, dia tidak perlu merasa ketakutan seperti sebelumnya. Karena Anggi yakin, jika dia dalam masalah, maka keluarga dan orang-orang terdekat akan berusaha untuk menguatkannya.

Aku memang harus memilih jalan ini. Gumamnya dalam hati dengan penuh tekad.

***

Yang kangen Angga sama Rina, yang kangen, yang kangen wkwkkw *natap cerita Angga sama Rina yang belum diapa-apain lagi*

Mr And Mrs Players Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang