Prolog
"Nikah itu ndak melulu berisi kebahagiaan, Nduk. Banyak cobaannya. Kalau kamu mikirnya indahnya saja, ndak bakalan ketemu. Pernikahan itu ya seperti berlayar di lautan. Kadang tenang, kadang dihadang badai yang besar. Kuncinya itu satu, asal kalian berdua itu menjaga komitmen satu tujuan, InsyaAllah semuanya akan lancar. Pada akhirnya, semua itu ditujukan untuk beribadah ke Gusti Allah."
Masih teringat ucapan ibu mertuanya di tengah derasnya guyuran hujan sore itu, ditemani secangkir teh hangat yang biasa ibu mertuanya nikmati. Tak lupa juga usapan lembut juga tutur kata tegas namun ada kelembutan di waktu bersamaan hanya bisa membuatnya mengangguk paham. Senyum yang sekuat tenaga dia keluarkan menanggapi nasehat untuk keluhan yang ia adukan.
"Apa itu artinya harus banyak sedihnya, Bu?"
Tekanan cukup kuat di lengannya dia rasakan saat sang ibu mertua menimpuk lengannya dengan kipas tangan yang terbuat dari anyaman bambu mengenai lengan tertutupnya. "Yo enggak. Asal kalian ikhlas jalaninnya, InsyaAllah gak berat. Masih sendiri saja ada saja cobaannya, apalagi sampai menikah. Itu juga ibadah terpanjang, Nduk. Kudu kuat sampai apa yang kalian tuju itu ketemu."
Sayangnya pernikahannya tidak ada tujuan yang jelas seperti yang ibu mertuanya gambarkan. Bagaimana bisa dia tetap bersabar menjalani pernikahan yang hanya sepihak ini?
"Didi melakukan kekerasan sama kamu, Nduk?"
Praba menggeleng. Lelaki itu sama sekali tak bersikap kasar kepadanya. Bagaimana bisa kasar, mengacuhkan keberadaannya saja tidak.
"Nduk..." Praba menoleh, menatap wajah perempuan yang sudah dia anggap pahlawan di hidupnya dengan pandangan teduhnya. Kulit tangan kasar nan keruputy itu menyentuh kulit tangannya, menggenggamnya erat hingga membuat rasa takut itu menjalar kian kuat di hati Praba. "Apapun yang terjadi, bersabar dan bertahanlah. Jangan gampang menyerah seperti yang sudah-sudah. Ya? Ibu harap, saat kamu ingin menyerah nanti, ada satu alasan yang bisa menjadi penguatmu nanti untuk kembali bertahan. Ya?"
Dan itu adalah percakapan panjang terakhir antara dirinya juga Sekar Wasesa sebelum pagi harinya menutup mata untuk selama-lamanya meninggalkan duka yang begitu dalam untuk orang yang ditinggalkan. Begitu pula dirinya.
Apalagi dua minggu berselang saat harapan yang almarhumah nantikan datang di keadaan yang tak memungkinkan untuk dirinya bertahan, Praba seperti kembali diingatkan untuk menjadikan ini sebuah alasan untuk bertahan.
"Aku hamil. Dua bulan usianya."
Sayang, bayangan kabar ini akan memberikan hawa sejuk untuk orang yang baru ditinggalkan sirna saat itu juga. Bukan senyum kebahagiaan yang dia lihat di matanya, bukan pula pelukan kehangatan atas rezeki yang diberikan, melainkan tatapan datar seolah dia adalah wanita paling menjijikkan yang pernah hidup di hadapan sang Tuan.
Dan dalam simpul itu, masihkah dia harus bertahan bila penolakan jelas-jelas diperlihatkan? Alasan apa yang harus dia pegang untuk tetap bertahan?
Pembuka dulu yaaaa...
Ini cerita baru dikit tabungan babnya tapi insyaallah do'akan selesai yaaaa... Masih di masa pemulihan soalnya jadi juarang nulis.
Akan update mungkin setelah NADI selesai.
Sampai ketemu lagiiii 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelana Merajut Asa
Storie d'amoreSematan bodoh nyatanya tak serta merta salah disandingkan dengan Praba. Demi menebus balas budi yang diterimanya dulu, dia menyanggupi menikah dengan seseorang yang bahkan cintanya masih terhambat di masa lalu. Berharap bila cinta itu datang kepadan...