Sebelas
"Nduk, bener gak diadain di rumah?"
Suara simbok yang terdengar pelan namun sarat akan protes yang coba diredam mengalihkan fokus Praba. Perempuan yang sedari tadi sibuk dengan iPadnya itu lantas meletakkan benda yang menjadi fokusnya dan meregangkan perlahan tubuhnya menghilangkan rasa penat di lehernya.
"Iya, mbok. Mbok juga hari itu ke rumah pak lek Mardi kan?" Menyebutkan nama salah satu putra simbok yang akan menyelenggarakan acara khitanan anak bungsunya. Bisa dibilang ini cucu paling kecil simbok. Jadi, Praba pikir simbok juga kedua cucunya --Aris dan Tiara-- akan pergi ke sana.
Simbok terlihat menghela napasnya panjang. Menatap istri majikan yang sedari dulu diurusnya lamat-lamat. Tak lagi mengerti kali ini masalah apalagi yang terjadi. Padahal selama dua minggu ini --setelah pulang dari rumah sakit-- di matanya kedua majikannya terlihat akur. Terbukti Yudhistira mengatakan kesulitan tidur karena Praba akan terbangun bila usapannya di punggung perempuan itu berhenti hingga Yudhistira membeli alat untuk menggantikan tugas tangannya tersebut.
Tapi melihat wajah murung Praba yang coba disembunyikan dan akan muncul saat-saat tertentu seperti tengah sendiri, simbok tak bisa mencegah asumsinya bila semua tak sebaik yang diperlihatkan di permukaan. Atau memang hanya terjadi pada Praba? Karena nyatanya semakin hari Yudhistira semakin memperhatikan istrinya.
"Sudah rembukan dengan mas Didi, Nduk? Atau mbak Dewi?"
Murung itu semakin terlihat pekat, pun dengan mata Praba yang beberapa kali bergerak ke segala arah.
Hanya senyum kecil yang Praba perlihatkan dan itu sudah keputusan final yang dia sendiri pun tak bisa mencegah keinginan menantu Sekar Waseso tersebut.
Jadi, setelah menyiapkan apa yang Praba butuhkan untuk acara hari ini, simbok yang juga pergi ke rumah anaknya lebih awal dari acara diadakan hanya bisa menatap Praba dalam.
"Jaga diri baik-baik ya, Nduk. Kalau memang ndak mau minta bantuan Lastri dan Sri minta tolong mas Didi saja. Terus acara ini, beneran ndak bilang ke mas Didi, Nduk? Ini anak kalian, sudah seharusnya dia tahu."
Praba menyalami tangan tua simbok sebelum memeluk tubuh gempal wanita itu cukup lama.
"Enggak. Lebih baik seperti ini." Karena setelah semuanya, Yudhistira masih juga menyembunyikan kehamilannya dari keluarga lelaki itu. Awalnya dia kira kesibukan mereka lah hingga saat dia dirawat tak ada satupun yang berkunjung. Sayangnya, saat melihat story yang dibagikan Tirta, mereka tengah berada di keluarga Abimanyu merayakan acara tasyakuran kehamilan Utari.
Tentu rasa iri menggerayangi hati. Utari begitu disayangi keluarga ini juga mertuanya. Kabar ini tentu membahagikan untuk semuanya. Sedangkan dia? Senyum bahagia saja tak ia dapatkan apalagi perayaan kan?
Okey, dia tak mempermasalahkan --tepatnya mencoba mengikhlaskan. Namun, setidaknya ada lah pesan yang menanyakan kondisinya. Sayangnya hingga kepulangannya ke rumah dan selama dua minggu ini tak ada satupun dari mereka yang menanyakan kondisinya. Bukankah itu sudah jelas kalau Yudhistira tak ingin keluarganya mengetahui ini semua?
Setelah mengantarkan simbok dan kedua cucunya pergi diantar Yudhistira langsung ke stasiun, Praba lantas menghubungi orang-orang yang telah dia mintai pertolongan menyiapkan acara empat bulanan jabang bayinya.
Sebuah panti asuhan tempat yang ia pilih untuk acara empat bulanan di mana yang Sekar Waseso dirikan untuk membantu para anak jalanan yang terlantar. Praba sebenarnya dulu ingin dimasukkan kesana, namun entah apa alasan Sekar hingga dia diikutkan ke seorang janda yang ditinggal mati suaminya tanpa anak yang berakhir dia panggil ibu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelana Merajut Asa
RomanceSematan bodoh nyatanya tak serta merta salah disandingkan dengan Praba. Demi menebus balas budi yang diterimanya dulu, dia menyanggupi menikah dengan seseorang yang bahkan cintanya masih terhambat di masa lalu. Berharap bila cinta itu datang kepadan...