tiga puluh satu

885 78 6
                                    

Tiga puluh satu


"Lo yakin kalau itu dia?"

Penyangkalan yang lebih kepada keterkejutan akan cerita yang baru saja ia paparkan panjang lebar nyatanya tak membuat seseorang yang kini duduk di depannya, menghembuskan asap pekat ke samping, dan tetap menatap selidik meminta keyakinan akan kebenaran yang baru saja ia ceritakan.

"Ya yakin, lah, Mel. Lo pikir, gue terbang jauh kesini buat apa kalau gue gak yakin?"

Perempuan itu mengangguk membenarkan. Sepanjang mereka saling mengenal, Aruna adalah sosok yang selalu bertindak nekad untuk mencapai sesuatu yang dia inginkan. Jadi, melihat kehadirannya di depannya yang jaraknya lumayan jauh dari perempuan itu tinggal juga apa yang baru saja diceritakan, seharusnya itu memang benar.

Tapi...

"Tapi, Run, dengan jarak sedekat itu-- maksudnya itu Salatiga Semarang loh, Run, belum lagi lo bolak-balik juga kan ke sana? Masa sekalipun kalian gak pernah ketemu atau orang suruhan kakak lo nemuin dia sama sekali," jelasnya akan alasan mengapa dia sangsi dengan apa yang baru saja dia dengar.

Aruna tak lantas menjawab, menikmati rasa pahit yang mulai menyentuh pangkal lidahnya begitu pula rasa panas yang menjalar ke tenggorokan yang baru saja ditenggaknya.

"Ya karena backing-an dia kuat." Gelas kedua telah masuk juga, rasa pengar di kepala mulai kerambatinya, dan inilah yang dia cari hingga jauh ke tempat ini. "Lo ingat mantan gue yang namanya Yudhistira? Si Didi? Nah, backing-an dia keluarga mantan gue itu! Tepatnya ibunya si Yudhistira. Sialan! Bahkan sekarang dia nikah sama Yudhistira!" serunya keras-keras. Umpatan yang dia tahan dan harus segera dikeluarkan, akhirnya dia bawa ke tempat ini. Tempat dimana orang-orang juga tak akan peduli karena isinya kurang lebih seperti dirinya ataupun orang-orang yang lupa akan kehidupan setelah ini. Intinya, hanya orang-orang yang merasa akan hidup selamanya tanpa ada beban yang harus dibawa setelahnya lah yang mendiami tempat ini.

Amel, perempuan ber-piercing di hidung juga bibirnya itu tersenyum meremehkan melihat amarah yang kembali Aruna keluarkan.

"Ini lo masih belum bisa move on apa gimana dari laki-laki yang masih sembunyi di ketek ibunya itu?"

"Sialan! Gue udah move on dari itu cowok ya, Mel," bantahnya cepat menyangkal pernyataan Amel yang tak sesuai dengan apa yang dia rasakan. "Yang bikin gue benci, itu wanita tua idiot nolak gue karena diam-diam sembunyiinnsi cewek sialan itu! Dan lo harus tahu, Mel, itu cewek juga harus nikah sama Yudhistira karena paksaan si tua peot yang kalau bukan karena kekuasaan yang dimilikinya, juga pasti anak-anaknya nelantarin ke panti jompo!"

"Ngaco! Itu kalau mantunya macam lo baru gue percaya," sahut Amel cepat yang lantas membuat keduanya tertawa. "Lalu, setelah ini apa rencana lo?"

"Rencana gue?" Mata Aruna memicing menatap Amel yang menantikan apa rencana di luar nalar yang akan perempuan ini kembali lakukan seperti satu dekade lebih silam. Yah, pasti rencana yang tidak jauh dari usaha cuci tangan yang selama ini menyelamatkan nama baik Aruna di depan semuanya. "Tentu melihat kehancuran perempuan sialan itu untuk ke sekian kalinya. Enak aja dia hidup tenang dan bahagia setelah buat kakak gue gila karena gak bisa lupain si sialan itu!"

Amel tertawa sembari menggelengkan kepalanya, telah menduganya.

"Tapi itu kakak lo yang goblok sih. Disuruh bikin pelajaran malah mau dijajal, eh, ketagihan dan gak bisa lupa sampai terobsesi sampai sekarang."

"Emang gila. Makanya, gue mau kasih makan kegilaan dia sekalian temuin obatnya kan?"

Dan disinilah dia, setelah beberapa bulan dari pembicaraannya dengan Amel dan menyusun apa saja rencana yang akan dia lakukan untuk memberikan kembali sedikit pelajaran hidup pada Praba yang ternyata masih hidup baik-baik saja.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang