tujuh

1.1K 117 18
                                    


Tujuh

Banyak yang mengatakan hari sial tak ditemukan dalam kalender. Tak ada yang tahu pula kesialan berturut-turut menghampiri di hari yang sama. Dan mungkin, kesialan bagi Praba adalah hari ini. Apa bisa ia menyebutnya dengan kesialan kalau ini adalah pembalasan seperti yang diharapkan orang-orang?

Dia salah apa sih sebenarnya?

Sungguh, bukannya mau playing victim, tapi dilihat dari sudut mana pun kesalahannya belum dia temui, kecuali menikah dengan Yudhistira. Oh, atau mungkin sedari dulu kehadirannya bisa disebut sebagai wujud kesialan. Ah, ini lebih tepat.

Seolah tersadar, Praba menggeleng keras-keras. Masih mengunci rapat mulutnya dengan telinga awas mendengarkan setiap pembicaraan yang kedua simbok lakukan.

Mbok Sri dan mbok Lastri. Memang bukan hal baru sebenarnya mendengar mereka terang-terangan membicarakan dirinya di belakang, bahkan sejak Sekar Waseso masih ada pun keduanya diam-diam membicarakan kesalahan ibu mertuanya mendapatkan dirinya. Tentu alasan dia yang sebenarnya anak tak tahu juntrungannya yang menjadi alasan mereka menyayangkan mengapa harus mendapatkan Yudhistira yang hidupnya sempurna.

"Padahal dulu ada seorang pengusaha menawarkan menjadi besanan. Mana anaknya cantik, berpendidikan tinggi. Sekarang lihat, hamil anak mas Didi lagaknya kayak tuan putri. Apa-apa minta diurusin. Belum lagi sekarang kalau pagi muntah di kamar mandi sini. Emang ndak biarin kita tenang itu tuan putri."

Praba menunduk, bibirnya tersenyum kecut mengetahui fakta bila mereka keberatan dengan apa yang dialaminya. Dia bersumpah, kamar mandi itu selalu dia bersihkan sebelum ditinggalkan. Terakhir kali dia mengalami morning sickness dan Yudhistira tampak marah karena terganggu tidurnya, akhirnya setelah itu dia memutuskan untuk pergi ke kamar mandi dekat dapur. Karena hanya itu yang tersisa. Kamar mandi di kamar mendiang ibu mertuanya kerap bermasalah makanya ia tak menempatinya.

Batinnya merepih, bahkan untuk sesuatu yang biasa dialami ibu hamil muda pun dia tetap salah. Apa benar ini bukan tempatnya ya? Ternyata dia selama ini salah berpijak.

Dibenci suami, tidak diakui kehadiran sang jabang bayi, lalu kehadirannya seperti menjadi virus bagi siapa saja yang ada di sekitarnya seketika menyadarkan keberadaannya.

Jika dari dulu dia kesulitan untuk diterima di mana saja, lantas tempat yang sebenarnya untuk dia dimana?

Kuncuran air shower yang membasahi tubuhnya guna menyamarkan air mata ia biarkan begitu saja. Dia sadar tak baik menangis terlalu hebat di kamar mandi. Bukan tempat yang bagus untuk berpikir jernih, tapi dia membutuhkannya. Dia memerlukan kuncuran itu seolah mengaliri endapan emosi yang dia harapkan mampu terkikis sedikit demi sedikit dan melegakan pikirannya.

Sayangnya pikirannya semakin kemana-mana. Tangisnya sejak mendengarkan kedua simboknya usai bercerita begitu menyadari keberadaannya masih belum juga reda. Bayangan perlakuan Yudhistira selama pernikahan mereka satu persatu seperti di tampakkan di depannya. Jelas dan itu menyiksanya.

Yudhistira memang tak pernah kasar kepadanya secara terang-terangan, hanya ketidakpedulian lelaki itu yang konsisten selama pernikahan membuat dia seperti tak dihargai sebagai pasangan.

"Ini betulan salahku ya? Apa benar aku merebut mas Yudhis dari wanita itu?" Mulutnya berbisik lirih, pun dengan punggungnya yang kian bergetar hebat.

Dengan napas tersengal-sengal Praba mengangkat tangan kirinya. Membaliknya hingga punggung tangan keriput kini menjadi pusat tatapannya, tepatnya pada benda mengkilat yang melingkari jari manisnya. Dipandangi cincin pernikahannya dengan Yudhistira yang ia pilih langsung sewaktu keduanya mencari cincin kawin yang telah diatur Sekar Waseso sebelumnya.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang