delapan

1.3K 140 15
                                    

Delapan


"Angkat sih, Mas, daripada bunyi terus."

Yudhistira berdecak keras tak lantas menuruti perkataan Tirta dan memilih mematikan sambungan telepon yang sejak tadi terus memanggilnya.

"Adekmu ini kayak gak pernah hamil saja."

"Kan emang baru kali pertama hamil, Mas!" Tirta berseru kesal yang dihadiahi kekehan Yudhistira yang masih setia memangku bakpia lumer yang diamanatkan Utari agar tidak rusak atau apalah yang membuat perempuan muda yang tengah hamil muda itu murka. "Maklumi saja, Mas, si bocah udah mau punya bocah. Kamu yang sudah sepuh kalah cepat, Mas."

Yudhistira sekali lagi berdecak. Tak ingin membalas ledekan Tirta tatkala sekelebat omongannya kemaren melintasi pikirannya.

Astaga...dia lupa bila sudah berjanji membelikan Praba garang asem.

Cepat-cepat Yudhistira membuka gawainya hingga tak sengaja menyenggol kardus di pangkuannya dan membuat makanan --yang membuatnya kelimpungan dan sebal semalaman-- jatuh terbalik ke bawah.

"Ngapain kamu, sih, Mas? Itu kalau rusak tuan putri pasti akan mewek," gerutu Tirta akan kecerobohan Yudhistira yang tampak tergesa-gesa tapi raganya berhenti di tempat.

"Gak, semua aman." Dia mengatakannya dengan cengiran lebar lantas hatinya yang semakin tak karuan.

"Tari tuh udah tak bilangin, biar aku aja yang nyari, eh malah bilang gini, 'mas Ta kan belum ada istri, biar mas Didi aja, kan siapa tahu kak Praba bentar lagi ngisi. Biar simulasi', gitu ik, Mas!" Tirta tergelak mengingat kembali alasan yang Utari gunakan yang dia tahu itu hanya akal-akalan saja. Emang niatnya mengerjai Yudhistira saja.

Sedangkan Yudhistira hanya tersenyum kecil kala sebuah sengatan terasa di dadanya. Membuka kembali gawainya tak dia temukan satu pesan bahkan panggilan yang masuk ke gawainya dari nomor Praba. Meski itu sudah biasa, tapi... Oh, apakah dia sudah meminta mungkin Aris untuk membelikannya? Jika iya, ia akan sangat berterimakasih pada cucu simboknya itu menggantikan perannya menuruti kemauan Praba.

Bukannya dia mau mangkir dari ucapannya sendiri. Namun tat kala mendengar kabar bila Galih Pramono meninggal dunia, tentu dia dan Tirta tak bisa diam saja. Beberapa kali mereka pernah berjumpa, terlebih saat dia masih dekat dengan Rida yang bahkan beberapa kali dia bertemu Galih saat lelaki itu mengunjungi Rida.

Tirta pun demikian meski tidak terlalu mengenal namun cukup mengetahui siapa itu Galih Pramono. Jadi, setelah menyerahkan sepenuhnya administrasi juga keamanan gerai pada karyawan, keduanya lantas langsung bertolak ke rumah duka.

Keduanya disambut oleh Satya juga kerabat lainnya dan diarahkan ke sisi kanan rumah Pramono. Tampak ramai, para tetangga juga rekan bisnis Pramono berbondong-bondong datang bahkan di luar gerbang banyak karangan bunga berjejer rapi bahkan dari luar gerbang kompleks perumahan ini.

"Kondisi Papa memburuk itu sejak kepergian Mama, lalu perceraian Adit juga Rida yang semakin memperburuk semuanya. Apalagi kan setelah itu Adit memilih pergi mempelajari ilmu agama juga kan. Aku pikir dengan kembalinya Adit yang kembali mengurus perusahaan membuat kondisi papa membaik, ternyata malah sebaliknya. Papa semakin sakit-sakitan dan akhirnya tiada."

Itu yang Satya katakan mengenai kondisi almarhum sebelum meninggal. Memang, beberapa kali pertemuan mereka, kondisi kesehatan Galih Pramono memang cukup riskan, bahkan biasanya Satya atau Rida akan mengomel panjang lebar bila Galih ngotot melakukan perjalanan ke Semarang hanya untuk bertemu dengan Rida.

"Aku tuh udah bilang ke papa, biar aku aja yang mengunjungi papa, kan kondisi papa juga kurang baik. Tapi beliau gak mau. Sekalian mengunjungi kampung halaman katanya. Tapi kan papa kurang sehat." Saat itu dia akan menghibur Rida yang merasa bersalah karena kesibukannya hingga Galih yang ingin bertemu dengannya melakukan perjalanan ke Semarang yang menurutnya cukup jauh ditempuh mengingat kondisinya.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang