tiga puluh dua

893 107 10
                                    

Tiga puluh dua

"Belum bisa dihubungi juga, Mas?"

Geleng kepala, pun dengan hembus napas kasar yang Yudhistira perlihatkan cukup memberikan gambaran jika usahanya menghubungi Praba belum juga mendapatkan balasan. Terhitung sudah delapan jam-- sejak mereka bertolak ke cabang-- sejak itu juga Praba tak membalas satupun pesannya, pun panggilan yang diabaikan.

Tentu perasaannya tak karuan. Ditambah simbok bilang jika Praba keluar menemui Arsya --ini dia mengetahuinya karena Praba sempat ijin juga-- hanya saja, hal aneh terjadi setelah Praba pergi di sore hari tanpa putra mereka. Praba mengatakan hanya ke minimarket terdekat, namun sekembalinya perempuan itu, gelagat aneh terlihat. Simbok tentu tak berspekulasi macam-macam karena memang Praba berusaha tak menunjukkan keanehan. Hanya saja, hingga malam menjelang Praba tak kunjung keluar dari rumah belakang dan gedoran yang simbok lakukan tak kunjung mendapat jawaban. Pun, tangisan Ganesh yang semakin kencang hingga Deswita harus datang.

"Kalian bener-bener gak ada masalah kan, Mas, sebelumnya?" tuding Tirta sangsi mengingat banyaknya permasalahan yang selama ini dihadapi oleh Yudhistira juga Praba yang semuanya pasti didasari atas minimnya komunikasi mereka.

Yudhistira melempar botol air mineral yang telah kosong ke tempat sampah yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri lantas menggeleng meyakinkan. "Gak ada, Ta, bahkan beberapa kali aku memastikan bila Praba tak keberatan. Kakakmu itu juga yang nyiapin semuanya. Mana pernah kan aku pergi bawa bekal? Menata rapi pakaian, plus semuanya? Biasanya aku milih beli ke minimarket atau bila butuh baru beli. Ini kakakmu semua yang siapin," ujarnya sungguh-sungguh meyakinkan Tirta bila sejauh ini hubungan mereka baik-baik saja atau...memang itu hanya perasaannya saja?

Seperti baru disadarkan sesuatu, Yudhistira terdiam cukup lama tat kala tatapan Tirta menyiratkan bila dia sudah menemukan titik permasalahannya.

"Mas, coba dengerin saranku ini, kalian butuh komunikasi yang bener-bener komunikasi. Bukan cuma basa-basi. Apalagi sejak kehadiran Ganesh kalian juga pasti lebih fokus ke Ganesh kan?"

Benar.

"Jika kurang mempan, kalian mungkin butuh konsultan pernikahan." Tirta mengatakannya dengan kesungguhan. Tak mungkin asal juga dia menyarankan ini pada Yudhistira. Melihat bahkan mendengar sendiri bagaimana keduanya menghadapi setiap permasalahan yang seolah-olah tak ada permasalahan usai pertengkaran cukup membuatnya turut merasa janggal.

"Seharusnya sadari awal mas Didi sudah antisipasi ini. Karena ini bukan sekali dua kali kak Praba akan tiba-tiba bersikap defensif. Di satu sisi mas Didi tak menyadari kesalahan yang telah berlalu, permasalahan itu kelar sendiri tanpa penyelesaian kan?"

Yudhistira mengangguk mengiyakan. Lagi dan lagi dia dibuat terlalu lena dengan sikap Praba yang begitu tenang dan sering diam seolah mereka tak dihadapkan pada permasalahan.

Benar, pernikahan mereka seperti tak memiliki permasalahan di permukaan. Tampak tenang, mudah diselesaikan, pun tanpa perdebatan berarti padahal jika ditelisik lebih jauh, komunikasi mereka benar-benar seburuk itu. Dia dan Praba kerap mengabaikan tanpa memberikan evaluasi tentang masalah dan terus begitu hingga tanpa sadar seperti bom waktu yang mungkin akan siap meledak kapan saja.

"Nduk...buka pintunya ya?"

Berapa lama? Berapa lama Praba diam di sana? Memang, sudah barang pasti kebutuhan di rumah belakang tercukupi, tetap saja tanpa ada sahutan dari istrinya di dalam sana memunculkan kekhawatiran yang begitu besar.

Ganesh dibawa ke rumah Deswita, karena tidak mungkin kakaknya itu meninggalkan Utari yang juga mengurus bayi. Para pekerja juga tak berani membuka pintu. Jadi, tanpa berpikir dua kali dia lantas terbang pulang menghampiri sang istri yang belum juga menunjukkan diri.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang