dua puluh dua

923 95 12
                                    

Dua puluh dua.


"Lama banget, Mas. Itu pertemuan apa reunian sih?" Tirta berdecak kesal saat kedatangan Yudhistira usai membahas kontrak dengan Aruna.

"Pikirannya mulai," balas lelaki itu kesal mengabaikan kekesalan Tirta yang hendak melahap habis dirinya. "Nih, tadi sekalian bahas ini."

Tangannya menyodorkan undangan pembukaan pameran kain yang biasa diadakan dua tahun sekali di kota ini. Pergelaran besar yang menghadirkan berbagai macam supplier tekstil, bahkan para designer yang turut hadir memamerkan hasil karya mereka yang pasti menjadi incaran bagi pembuka usaha.

Tentu, gerai mereka mencari supplier yang lebih potensial diajak kerja sama dengan berbagai banyak macam bahan yang mereka sediakan. Lalu, para usaha distro atau usaha butik lainnya akan mencari designer untuk bisa mereka ajak kerja sama. Acara yang tentunya dinantikan banyak pihak dilihat dari keuntungan yang akan didapatkan.

Ada juga pelatihan juga pemaparan tentang apa saja kegunaan juga fungsi kain tergantung iklim suatu negara.

Negara tropis berbeda penggunaan bahan kain sehari-hari dengan negara subtropis. Jenis kain masing-masing memiliki fungsi tersendiri dan menyesuaikan tempat tinggal orang itu mengenakan.

"Pergelaran?"

"Huum. Dua tahun lalu yang datang kan, ibu. Nah, tahun ini kita tentuin yang datang siapa dari pihak kita," jelasnya pelan begitu melihat ketegangan di wajah Tirta sepenuhnya menghilang.

"Mas sama kak Praba aja deh, yang datang. Aku malas lah datang ke acara beginian," ucap Tirta langsung tanpa berpikir panjang.

"Dih, padahal siapa tahu kamu ketemu perempuan gitu terus--"

"Itu kisahmu sama Aruna deh, kayaknya. Dan aku gak berniat mengulangnya."

Yudhistira menarik bibirnya masam membiarkan Tirta berbicara sesukanya. Toh, itu tak berarti apa-apa.

Pikirannya kini berfokus bagaimana cara mengajak Praba ke acara ini yang pastinya akan membuat perempuan itu sedikit banyak merasa tak nyaman. Apalagi dihadapkan dengan keadaan mereka yang kian merenggang karena Praba begitu sulit diajak berbicara diberi penjelasan. Sudah pasti Rida juga mendapatkan undangan serupa. Entah apa yang akan Praba pikirkan bila mereka --bila jadi datang-- melihat keberadaan Rida.

Ia tak ingin Praba dibutakan oleh ketidaksukaannya dan membuat keributan di sana. Hembus napas panjang ia keluarkan memikirkan apa yang harus ia katakan terlebih saat ini ketika ia melihat Praba, dengan posisi tertidur di sofa berbaring miring dengan mata terpejam sama kuatnya, seolah tak terusik dengan keributan yang terjadi di sekelilingnya.

"Kak Praba mending diangkat dulu, Mas." Simbok mengatakannya saat ia berhenti menatap Praba yang tertidur pulas. "Kecapaian itu, Mas, kayaknya. Dari siang belum istirahat soalnya," imbuh simbok yang diangguki Yudhistira sebelum lelaki itu hendak lebih dulu membersihkan diri sebelum memindahkan Praba.

Yudhistira kembali ke ruang tengah dengan tampilan lebih segar setelah membersihkan badan. Tiara yang tadinya berkutat sibuk dengan menjahit payet di kebaya kini sudah mencobanya dan dua jari jempol ia acungkan melihat bagaimana pasnya kebaya itu di tubuh Tiara.

"Beneran bagus, Mas?" tanya gadis itu memastikan. Tak lupa bawahan yang ia pinjam dari lemari Praba dikenakan yanb semakin menambah kesan ayu di wajah Tiara yang lugu.

"Bagus. Buat acara apa, Ra, sampai pakai kebaya?"

Gadis itu menjelaskan acara yang akan ia dan teman sekelasnya ikuti menyambut dies natalis kampus mereka dengan seragam yang telah mereka tentukan. Tak lupa dengan menggebu-gebu gadis itu juga menceritakan apa yang ia alami pagi tadi.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang