delapan belas

1.2K 100 8
                                    

Delapan belas





"Praba sudah mendingan, Mbok?"

Dengan suara pelan ia bertanya pada simbok yang kebetulan membukakan pintu untuknya. Yudhistira salim lalu jalan berdampingan dengan simbok yang membantunya membawa keresek berisi rujak buah keinginan Praba.

"Sudah, Mas. Sudah habis juga makannya, terus tadi minta rujak juga," jawab Simbok pelan kemudian berlalu menyiapkan rujak yang akan dimakan Praba.

Yudhistira melangkahkan kakinya menuju kamar. Sebelumnya ia telah mencuci wajah, tangan, serta kaki di luar sebelum masuk ke dalam. Jadi, dengan wajah segar tanpa pembawaan buruk dari luar karena sudah ia bersihkan, ia lantas memasuki kamar. Hal pertama yang tertangkap oleh matanya adalah Praba yang duduk menghadap jendela, punggungnya bersandar di pegangan sofa dengan tangan memegang novelnya.

"Assalamu'alaikum..."

Wajah pucat --yang seminggu ini menghiasi wajah cantik Praba-- menoleh, lantas tersenyum menyambutnya. Kaki panjangnya berjalan menghampiri Praba yang otomatis turun menginjak lantai.

"Lagi apa?" Praba mengedikkan dahu ke arah buku yang terlihat sampulnya. "Bagus?" Dia salah mengira, ternyata bukan novel yang tengah Praba baca, melainkan buku panduan menjadi orang tua yang tengah dibacanya.

"Huum. Terimakasih ya, Mas."

Suara itu terdengar lemah, juga serak selama seminggu ini pula di dengarnya.

"Iya. Nanti kalau mau apa-apa bilang ya? Biar mas muter nyari lagi di mana bukunya," ujarnya dengan kekehan di akhir suara. Praba menanggapi dengan anggukan juga senyum tipisnya. Baginya, usaha Yudhistira yang satu ini patut diacungi jempol. Bagaimana lelaki itu mau-maunya keliling mencari buku yang ia inginkan di sela kesibukannya mengurus permasalahan di gerai.

Jika kondisinya tidak selemah sekarang, sudah pasti ia akan keliling mencarinya sendiri tanpa mau merepotkan Yudhistira. Sayang, dia bahkan baru bisa benar-benar bergerak bebas hari ini.

"Masih pusing, lemas atau--"

"Aku udah baik, Mas. Iniloh udah sehat," ujarnya meyakinkan dengan menyuguhkan senyuman lebar agar Yudhistira percaya dengan perkataannya.

"Oke, percaya." putus Yudhistira mengulum bibirnya ke dalam sebelum berdiri menghadap Praba. "Mas tadi udah beliin rujaknya, sesuai pesenanmu tapi cabainya cuma satu--"

"Gak kerasa dong, Mas!" sela Praba memprotes pesanannya yang diakali dengan satu cabai.

"Ingat ya, Nduk, kamu itu baru sembuh. Jangan bandel. Meski satu, tadi itu cabainya rawit setan udah pasti pedas," jelasnya pelan memberi pengertian kepada Praba yang memang suka sekali dengan cita rasa pedas. Sangat berkebalikan dengan dirinya yang tidak menyukai rasa pedas.

"Mas..." rengeknya meminta pengertian Praba yang belum juga terima.

Yudhistira menghembuskan napas pelan, ditatapnya Praba dengan sorot pengertian berharap perempuan ini menurut. "Nanti simbok datang anterin rujaknya, dicoba dulu. Percaya sama, Mas, pedas pasti." Setelahnya Yudhistira pergi meninggalkan Praba yang masih terdiam usai apa yang baru saja Yudhistira lakukan dengan pipinya.

Jemari perempuan itu menyentuh kulit pipinya yang masih terasa bagaimana bibir Yudhistira menempel di sana singkat.

"Yang ada pedesnya cekit-cekit doang," omelnya pelan begitu sadar apa yang Yudhistira lakukan tadi hanya sebuah bujukan untuk pengalihan.

Sementara di depan cermin, Yudhistira tersenyum kecil melihat wajah bengong Praba yang begitu menggemaskan. Itu jauh lebih baik dari apa yang terjadi seminggu belakangan.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang