dua puluh tujuh

914 96 12
                                    


Dua puluh tujuh

Bunga yang tinggi menjulang menebarkan sedikit aroma wewangian yang lebih banyak menampilkan keindahannya patut membuat banyak orang terkesima pada bunga bougenville tersebut. Praba ingat, ini adalah bunga dari bibit yang ia beli di salah satu penjual bunga keliling dengan uang tabungannya kala itu sebagai hadiah ulang tahun Sekar.

Memang bukan hadiah yang mewah, tapi melihat dulu Sekar menerimanya dengan senyum lebar bahkan mengucapkan terimakasih berulang-ulang, membuat buncahan kebahagiaan membumbung tinggi ke awan.

"Kamu tenang saja, di rumah hanya ada para mbok, anak-anak sedang liburan." Itu yang Sekar katakan dengan secara langsung mengundangnya untuk datang ke rumah makan siang.

Dan itu kali pertama dia menginjakkan kaki di rumah khas Jawa yang luas dan asri ini.

Sekar juga menyilahkan dirinya menanam bunga yang ia berikan dan di tempat yang menjorok ke belakang inilah pilihannya.

Kala itu dia tak begitu percaya diri harus menanam bunga ini diantara banyak bunga mahal yang Sekar koleksi. Meski pada akhirnya Sekar mengomel karena sama saja bunga ini tak akan disadari orang-orang keberadaannya, Praba diam saja. Karena itu memang tujuannya.

Lalu di lain hari, Sekar mendatangi rumah ibu angkatnya. Di sela-sela obrolan mereka, Sekar mengatakan bila bunga pemberiannya dirawat apik oleh Yudhistira, putra bungsunya, bahkan rutin diberi pupuk oleh Yudhistira yang memang senang menanam bunga. Detik itu juga Praba mengetahui jika putra bungsu Sekar senang berkebun.

Dan, bunga itu kini memiliki batang yang kokoh. Cabangnya banyak yang menggelepar ke sembarangan sisi yang tepat di sampingnya kini terdapat gazebo untuk bersantai. Dulu belum ada tempat ini. Jadi, sembari menikmati udara pagi atau menghabiskan waktu luang disini, orang-orang pasti akan setidaknya memuji keberadaan bunga ini yang memberikan penawaran keindahan.

Atensi matanya bertemu tatap dengan Yudhistira yang berjalan ke arahnya. Meski lelaki itu mencoba menghadirkan senyum terbaiknya, Praba tahu, suaminya itu menyimpan sesuatu dimana akhir-akhir ini Yudhistira lebih sering menjaga jarak dengannya.

"Mas mau ke gerai, kemungkinan sampai siang."

Praba berjalan pelan menghampiri Yudhistira yang juga mengulurkan tangannya meraih tangan Praba. "Gak jadi ambil cuti?"

Dari perkataan Yudhistira dua hari lalu, seharusnya Yudhistira mengambil cuti hari ini. Meski gerai dikelola Yudhistira juga Tirta, tetap saja menentukan ijin cuti setelah memastikan keadaan gerai baik-baik saja selama jangka yang telah dipastikan patut dilakukan. Karena tak semua hal diurus Tirta.

"Seharusnya gitu. Tapi ternyata semalam Tirta mengabari kalau masih ada beberapa transaksi ke pihak supplier yang belum clear. Terus pemesanan pelanggan yang memang Mas yang menangani juga jatuh tempo hari ini."

Mendengar penjelasan Yudhistira, meski dia keberatan, Praba tak bisa menahan.

"Masih sering kontraksi palsu?" tanya lelaki itu lagi menuntun Praba untuk duduk.

"Masih. Lebih sering juga rasanya." Itu sebabnya dia berjalan-jalan di sekitaran rumah.

Perutnya sejak semalam mengalami kontraksi lebih intens dari sebelumnya. Dia pikir dia akan melahirkan, namun mengingat HPL masih beberapa hari lagi, dia mencoba untuk tak panik karena beberapa kali dia mendengar cerita sudah dibawa ke rumah sakit ternyata itu hanya kontraksi palsu saja.

Jadi, demi mengurangi rasa sakit itu, Praba membawanya berjalan-jalan di sekitar rumah berharap rasa sakitnya berkurang.

"Gak papa Mas tinggal, kan?" tanya Yudhistira memastikan. Praba menangkap jelas raut khawatir yang lelaki itu sembunyikan di balik tatapan datarnya.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang