Sepuluh
"Bukankah ini hal biasa?"
Dan bantal yang tengah di pangkunya kembali ia gigit sebelum jeritan yang teredam benda tersebut terdengar. Belum lagi gelengan kepala yang berusaha mengusir semuanya. Cukup, mengapa hanya seperti itu dia sudah menjadi seperti ini? Oh, begitu lemah hati ini.
Kepalanya kembali mendongak, menatap sekitar mencari keberadaan CCTV yang mungkin menangkap tingkahnya yang mirip orang gila sejak dua jam lalu. Sejak Yudhistira pamit pergi ke gerai --ijinnya pun tak lama-- sejak itu pula dia menjadi gila.
Gila dalam artian tak sebenarnya. Tapi bayangan bagaimana lelaki itu membantunya ke kamar mandi, bertanya dengan suara lembut, bahkan setia menunggunya di depan pintu usai urusannya selesai begitu terus terbayang.
Dan saat dia bertanya kenapa Yudhistira melakukan ini semua, itu jawabannya.
Sudah biasa? Bahkan keduanya saling bergandengan tangan bisa dihitung jari, duduk berdampingan membuat sebuah obrolan bahkan dia sangsi. Oh, katakan dia berlebihan tentang perlakuan Yudhistira kali ini. Karena memang begitu adanya.
Orang akan blingsatan saat merasakan debaran tak menenangkan kan? Apalagi sebelumnya belum pernah mereka lakukan.
Okey, sekali lagi ia tekankan, seperti yang dia katakan pada Sekar Waseso dulu, Yudhistira tak pernah bertindak kasar, apalagi bermain tangan. Benar-benar tak pernah. Hanya sikap dingin dan tak acuh yang lelaki itu tunjukkan hanya padanya. Belum lagi bagaimana lelaki itu kerap berdiam diri sembari menatap potret yang ada di dompetnya. Dan baru-baru ini baru diketahui kalau itu potret Rida sebelum ia buang karena merasa tak terima.
Lalu, sikap lelaki itu semakin dingin kepadanya sejak dia mengatakan kehamilannya. Alih-alih bahagia, Yudhistira malah semakin tertekan dan membuat jarak kepadanya. Padahal dia merasa, sebelum Sekar Waseso menjalani perawatan, hubungan keduanya mengalami kemajuan, buktinya dia sekarang mengandung kan? Sebelumnya? Jangan harap dia saat ini mengandung darah daging lelaki itu, menyentuh ujung jarinya saja itu ia paksa saat bersalaman sebelum dia pergi bekerja.
Lalu setelah Sekar menjalani perawatan. Sikap lelaki itu kembali dingin kepadanya. Itupun masih pada tahap awal karena masih dalam pantauan ibunya. Tapi mengapa saat kabar kehamilan dia nyatakan lelaki itu alih-alih bahagia malah sebaliknya? Bahkan paginya langsung pergi tanpa pamitan hingga berakhir dia dirawat karena stress memikirkan banyak kemungkinan.
Apa dia berencana kembali mengejar Rida --karena penghalang mereka tak ada-- dan kehadiran bayinya menghalangi niatannya?
Begitu kah?
"Merusak warna-warni saja," gumamnya pelan karena kembali mengingat perlakuan Yudhistira hingga euforia kebahagiaan yang baru dirasakan sekejap menghilang. Berganti warna kelabu yang membuat kesendiriannya saat ini semakin diliputi perasaan tak menentu.
Melirik jam yang menggantung di dinding, Praba menghela napas panjang mencoba kembali menghadirkan warna-warni kebahagiaan yang sempat dia rasakan.
"Ah, tak mempan," keluhnya sesaat kemudian karena kini dia malah ingin menangis rasanya. "Labil banget," sambungnya tak mengerti akan kondisinya yang kerap kali berubah-ubah tak menentu.
Suara pintu terbuka lantas membuat Praba cepat-cepat menghapus jejak sungai di pipinya takut --entah siapa mungkin bisa jadi Yudhistira atau mungkin simbok-- melihat kondisinya dan berakhir salah paham kepadanya.
Sayangnya saat pintu benar-benar terbuka lalu muncul seseorang di sana, bukan dua orang yang disebutnya tadi. Bukan lupa perawat dan dokter yang menanganinya, apalagi Aris juga Tiara. Melainkan sosok yang seketika itu pula menampung kembali air matanya karena tak menyangka dia datang menemuinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelana Merajut Asa
RomantizmSematan bodoh nyatanya tak serta merta salah disandingkan dengan Praba. Demi menebus balas budi yang diterimanya dulu, dia menyanggupi menikah dengan seseorang yang bahkan cintanya masih terhambat di masa lalu. Berharap bila cinta itu datang kepadan...