sembilan

1.4K 137 14
                                    

Sembilan


"Mbok sudah dijemput Aris. Beneran gapapa mas Didi yang nungguin genduk?"

Ingin rasanya Praba meminta simbok tetap menetap, berharap pula Yudhistira menggelengkan kepalanya lalu bergantian dengan simbok yang pulang ke rumah. Andai semua sesuai keinginan. Nyatanya ekspektasi kerap mengingkari realita kan? Dan itu yang terjadi sekarang. Simbok sudah pergi meninggalkan ruangan ini sejak lima belas menit yang lalu, dan kini suaminya itu tengah duduk berkutat dengan laptop di depannya.

Praba menghembuskan napas beratnya.

Ruangan bercat putih itu nyatanya semakin terasa sepinya --hanya ketikan kemari lelaki itu yang setia menari di atas papan ketik-- padahal kantung kemihnya sudah terasa penuh dan harus dikeluarkan.

Mengapa tidak saat simbok masih disini sih?

Praba menggerutu dalam hati, sebab meminta bantuan Yudhistira terasa berat dikarenakan sejak membuka mata ia memilih mengabaikan keberadaan lelaki ini ketimbang meladeni pertanyaannya yang menurut Praba telat ditanyakan.

Harus banget nunggu dia sakit sampai membutuhkan perawatan untuk dia lebih perhatian?

Praba mendecih.

"Butuh sesuatu?"

Tapi bagaimana lagi, setiap kali mendengar Yudhistira menanyakan kebutuhannya atau mungkin sekedar basa-basi, ego tingginya akan meluruh, tergantikan harapan seolah itulah yang dinanti-nanti.

"Enggak."

Oh, sisi kewarasan --meski hanya menyisakan sedikit bagian-- menolak penawaran menggiurkan yang Yudhistira tawarkan meski akhirnya menjerit menyesal karena lelaki itu mudah sekali menganggukan kepala dan kembali berkutat dengan laptopnya.

Apa dia tidak ada inisiatif menanyakan keadaannya? Atau mungkin meminta maaf padanya?

Sisi gila --yang tadi hampir menguasainya-- lantas perlahan menghilang tergantikan dengan dengkusan kala mengingat bila dia hampir kembali terbuai oleh angannya sendiri. Melupakan bagaimana bisa dia berada di sini atau mungkin tak memikirkan penyebab awal, oh lebih tepatnya pemicu dia berada di sini. Tapi yah, ini Yudhistira. Apa  ia mengharapkan lelaki itu sepanjang hari duduk di sisinya, mengelus kepalanya, lalu mengecup-- oh, lupakan.

Dia malah semakin menjelaskan betapa mengenaskan dirinya sendiri yang bahkan diperhatikan saja tidak tapi sibuk membuat skenario manis yang hanya bertahan di pikiran saja.

"Praba?"

Disusul langkah yang kian mendekat, Praba menoleh dan terkejut Yudhistira berada tepat di sampingnya. Bukan tatapan penuh cinta seperti yang ada dk skenario pikirannya, tetapi tatap penuh selidik juga tanda tanya besar yang tergambar jelas di sana.

"Mas Yudhis masih kerja?" Berdehem menghilangkan kegugupan yang sering menyerang saat Yudhistira berada di dekatnya--bukan untuk sebuah pertengkaran-- Praba memilih mengalihkan fokus pikirannya yang ia duga pengaruh obat yang diminumnya hingga membuat pikirannya kemana-mana.

"Masih. Bener gak butuh sesuatu?"

Yudhistira itu apa ya? Dominan dengan sebuah ketenangan? Itu yang Praba simpulkan. Bukankah dia kerap kali mengatakan banyak yang sayang pada tuan muda Waseso ini? Ya karena kepribadiannya yang begitu baik, mencerminkan bagaimana seorang Yudhistira itu sendiri. Makanya tidak heran sikap orang-orang di sekitar lelaki itu yang menyayangkan dia yang pada akhirnya menikah dengan sang tuan muda.

Bukan apa, sejak dulu hukum alam sudah mengaturnya kan? Oh, hukum mata manusia maksudnya. Yang baik harus dengan yang baik pula. Yang setara bibit bebet bobotnya agar tidak terjadi kesenjangan di kemudian hari bila menemukan kesalahpahaman. Iya, memang benar. Dia saja yang bebal tetap menuruti permintaan Sekar Waseso menikah dengan sang pangeran ini.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang