dua belas

1.3K 127 21
                                    


Selamat tahun baruuuu
Semoga harapan juga keinginan yang belum terkabulkan tahun ini kewujudan. Dilancarkan rejekinya, dimudahkan segala urusannya. Pokoknya goals yang ingin kita capai, tahun ini tergapai...

Cepet banget ya rasanya. Perasaan, tahun baru kemaren aku update prolog cerita keliru. Eh udah tahun baru lagi...

Sehat-sehat kitaaa.
Hujan gak?
Ini ada yang bakar-bakaran?

Wehhhhh kalau gitu aku kasih bahan bakar nih untuk menemani malam tahun baru kalian...


Dua belas


"Tumbenan," gumaman itu tercetus seketika tat kala kakinya menginjak teras rumah kakaknya.

Sebenarnya sejak dalam perjalanan ke sini --usai acara kumpul bersama ketiga sahabatnya-- Yudhistira cukup terkejut begitu ingin kembali ke gerai kakaknya memintanya ke rumah. Bahkan untuk alasan dia mengurus laporan bulanan pun tak dihiraukan karena dia harus segera datang.

Takut ada hal tak mengenakkan yang terjadi, Yudhistira lantas mengulir gas sepeda motornya melaju membelah jalanan ibu kota Jawa Tengah yang terik panasnya bisa membuat kepala ingin terbelah. Memandang rona merah di punggung tangannya, lelaki yang lupa membawa penutup tangan itu berdecak lantas mencuci tangan juga kaki di bawah pancuran yang ada di halaman depan rumah kakaknya.

Uluk salam dia lontarkan dengan langkah kaki ringan kemudian disusul panggilan terhadap Utari yang pasti tengah terlelap di siang hari.

Namun bukan jeritan juga omelan yang dia temui. Ketika tiba di ruang tamu, semua formasi keluarganya ada di situ. Bahkan kakak iparnya sudah duduk menenangkan Deswita yang tampak kacau dengan linangan air mata. Matanya lantas berkelana, semua tampilan orang tak ada bedanya bahkan Abimanyu pun tak kalah kacaunya.

Terjadi sesuatu yang buruk kah?

Dengan perasaan tak karuan, ia langkahkan kakinya dengan durasi semakin cepat membuat ke lima orang itu mendongak menatapnya.

"Mbak ada apa--"

Belum jua kata itu terselesaikan, Deswita yang kacau lantas bangkit dari duduknya dan secepat kilat tanpa ada tanda-tanda di awal melempar tamparan ke pipi Yudhistira hingga suara nyaring terdengar, pun pekikan juga tangisan Utari yang kian mengeras.

"Dek!"

"Bun!"

Pekikan itu saling bersahutan bersamaan dengan Rama yang mencoba menenangkan Deswita yang masih menangis di depan keterkejutan Yudhistira. Lelaki ini berani bersumpah, seumur hidupnya baik ibu maupun Deswita tak pernah sekalipun mengangkat tangan kepadanya. Meski omelan juga kata pedas kerap terucap tat kala ia salah jalan, tak sekalipun mereka memberikan aksi tangan.

Lalu ini...?

"Bun, tenang dulu..." bisik Rama pelan masih menenangkan.

"Gak bisa tenang aku, Mas, ngadepin anak kurang ajar ini!!! Salah kami di mana sampai dia jadi seperti ini? Apa karena kami terlalu memanjakan dia sampai dia lupa diri?" raung Deswita keras yang masih memberontak dalam dekapan Rama.

Rasa perih juga asin di bibirnya tak lantas menyadarkan Yudhistira dari rasa terkejut juga kebingungan yang melandanya.

"Mbak..."

"Diam kamu!!!" Bahkan jari telunjuk yang bergetar itu mengacung tepat di mukanya, memberikan rasa sakit yang kian menyulut di dadanya. "Anak kurang ajar! Apa begini kami mendidikmu selama ini? Apa ada aku dan ibu memintamu untuk bertindak sekurang ajar ini? Jawab Di!!!"

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang