empat belas

1.4K 118 6
                                    

Empat belas

"Mau apa? Biar aku ambilin."

Praba menoleh dan mendapati Yudhistira berjalan ke arahnya dengan kaos polo juga celana chinos yang tampak lebih memukau dari biasanya. Sebisa mungkin Praba menahan diri untuk tidak menarik lebar bibirnya saat berhadapan langsung dengan Yudhistira.

"Nanti biar aku ambil sendiri," jawabnya pelan sebisa mungkin tidak terlihat berlebihan atas hubungan yang baru mereka revisi besar-besaran.

"Biasanya simbok ambilin apa?" tanya lelaki itu sekali lagi saat Praba kentara masih menahan diri.

"Setangkup roti sama susu. Mas mau bikinin emang?" tantang Praba dengan senyum lebarnya. Keduanya lantas berjalan ke arah dapur, di mana mbok Lastri tengah menyiapkan sarapan untk mereka dan terkejut mendapati tuan mudanya pagi-pagi tersenyum dengan istrinya.

"Butuh apa, Mas? Biar mbok buatin," tawarnya dengan senyum lebar melihat wajah tuan mudanya berseri-seri pagi ini. Namun, jawaban Yudhistira selanjutnya lantas dengan sekejap menghilangkan senyum di bibirnya.

Praba tentu melihatnya, hanya saja perempuan itu tak ambil pikir dan mengabaikan tatapan mbok Lastri yang seolah memastikan jawaban Yudhistira.

"Mau buatin sarapan Praba, mbok."

Dan ya, apa yang dilakukan Praba yang seolah tak peduli dengan keberadaan simbok, yang bahkan beberapa kali menatapnya terang-terangan, membuat wanita itu jengah sendiri merasa diabaikan. Apalagi Yudhistira begitu fokus dan bertanya perihal selera Praba yang semakin membuat mbok Lastri menganga.

"Loh, Mas! Ngapain? Sini, biar mbok yang buatin. Kamu gimana sih, Las, kok Mas Didi kamu biarin buat sendiri." Kedatangan mbok Sri yang begitu terkejut karena tuan mudanya sama sekali tak dibiarkan menyentuh sesuatu di dapur kini kelabakan dan ribut menawarkan bantuan.

"Ndak usah, mbok, ini juga sudah jadi." Yudhistira lantas bertanya apakah susunya sudah benar pada Praba yang diangguki perempuan itu yang lantas duduk menenggak susu buatan suaminya sembari roti panggangnya selesai.

Tak ada suara lagi di belakangnya. Kemungkinan kedua pekerja itu menjauh menanggapi kebingungan yang kini tersuguhkan. Diam-diam Praba tersenyum lebar menutup bibirnya dengan gelas yang masih tertahan.

"Anu, Mas, kamar ibu kok semalam ada suara aneh-aneh ya." Dengan jarak yang cukup jauh, mbok Sri menyatakan hal itu pada Yudhistira yang kini menyajikan roti bakar sedikit gosong di sisi tengahnya ke hadapannya.

"Gosong ya? Tapi kayaknya masih layak dimakan," ucapnya yang diiyakan Praba yang lantas menyantapnya sembari diam-diam mendengarkan laporan mbok Lastri yang mulai Yudhistira ladeni. "Suara aneh gimana, Mbok?" Memutar tubuhnya menghadap simbok yang ada di belakangnya.

"Ya aneh. Ada suara perempuan kayak...maaf nih, Mas, ngedesah gitu. Terus suara napas laki-laki yang keras gituloh, Mas. Serem kan?"

Praba hampir saja tersedak rotinya bila Yudhistira tak cepat menyodorkan minuman kepadanya.

"Walah, kapan mbok? Semalam? Biasanya gitu juga?" tanya Yudhistira menimpali laporan pekerjanya yang tampak bingung sekaligus takut.

"Baru semalam, biasanya ndak ada. Mana malam jum'at kan, Mas, jadi mbok ndak berani periksa," jawab mbok Sri lugu.

Praba sebisa mungkin menahan tawanya yang bila dibiarkan akan menyembur keras dan itu tidak sopan.

"Untung mbok gak periksa," gumam Yudhistira pelan.

"Eh gimana, Mas?"

Yudhistira tampak gelagapan yang sontak membuat Praba terkikik geli.

"Ya kalau ternyata ada aneh-aneh kan mbok takut sendiri," sahut Yudhistira cepat yang entah mungkin sebuah keberuntungan diangguki mbok Sri yang menyetujui.

Kelana Merajut AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang