Tiga puluh empat
Mengambil beberapa snack kemudian beralih pada biskuit yang dia inginkan, Praba lantas memutar memfokuskan penglihatan pada jejeran sabun mandi meski pada akhirnya ia tetap mengambil sabun yang biasa ia gunakan, oh, Yudhistira juga, karena suaminya itu entah dari cuci muka, sabun mandi, bahkan kadang perskincare-an pun mengambil miliknya. Itu sebabnya ia bukan lagi membeli dua jenis merk melainkan mendouble merk tersebut.
Merasa semua list belanjanya terpenuhi, Praba berjalan menuju kasir meski sebelumnya mengambil beberapa cup eskrim untuk dia nikmatin dengan para simbok nanti.
Perempuan itu terdiam, menunggu antrean yang tumben menguar panjang. Tak apa, Ganesh baru saja tertidur sebelum dia tinggal. Jadi, Praba dengan tenang menunggu gilirannya datang.
Lima belas menit kemudian perempuan itu sudah keluar dengan tote bag--yang sama tiap kali keluar dari sana, dan pastinya sesampai di rumah jika Yudhistira melihatnya nanti saat pulang, lelaki itu akan mengomel panjang karena lagi dan lagi dia mengumpulkan totebag dari merk yang sama.
Tak apa, nanti dia akan menjawab seperti biasanya, dengan alibi ini benda banyak kegunaannya. Halah, itu alasan saja karena Praba sering lupa membawanya tat kala belanja.
Menapaki jalanan sore hari, bersimpangan dengan kendaraan yang berlalu lalang melintasi sisi, Praba tetap tersenyum lebar membayangkan bagaimana nikmatnya menikmati se-cup eskrim sore ini.
Sayang, angan-angannya langsung buyar, tubuhnya refleks bergetar, pun lututnya tak kuasa ia paksa jalan. Semuanya melemah, syaraf di tubuhnya terasa menghilang saat itu juga sampai tidak bisa menerima sinyal dari otaknya untuk berlari sejauh mungkin yang dia bisa.
Tubuhnya tetap terpaku, pun ketika orang yang membuatnya seperti ini berjalan mendekat, dengan senyum memuakkan yang sejak lama ingin dia hilangkan dari memorinya bila-bila bayangan itu datang.
Tidak, ini bukan lagi bayangan, melainkan kenyataan. Monster itu benar-benar datang, berdiri di sampingnya yang membuatnya seribu kali merasa ketakutan.
Tuhan...dia benar-benar ketakutan.
"Hai, apa kabar, Praba?"
Menjijikkan.
Bahkan mendengar nada bicara tat kala mengeja namanya perasaan mual dia rasakan. Sayangnya, itu tidak keluar. Tergantikan keringat dingin yang mengucur membanjiri punggungnya yang pasti bergetar sama hebatnya dengan debaran di dadanya.
"Bukankah kita harus bicara setelah lama tidak bersua? Oh, lebih tepatnya setelah kamu bersembunyi begitu lamanya? Dibantu siapa? Oh, dia sudah meninggal rupanya."
Tolong....
Kenapa suara tak kunjung keluar. Rontaan pun lolongan suaranya tak jua terdengar padahal sekuat tenaga ia keluarkan. Belum lagi keadaan jalanan yang ramai berlalu lalang kendaraan yang seharusnya memudahkan dia mendapat pertolongan kan? Tapi mengapa tubuhnya merespon hal lain? Mengapa dia tetap diam terpaku ketakutan seperti orang yang tak memiliki kekuatan? Dimana kuasanya? Dimana daya yang dimilikinya?
"You look so pale." Lelaki itu berdecak, mengulurkan tangan ke depan yang untungnya refleks tubuh Praba masih berfungsi yang lantas mundur ke belakang. "Ckck, membutuhkan pertolongan Praba? Siapa? Ibu mertuamu yang sudah tiada itu? Oh, atau suamimu yang tengah bersenang-senang dengan adekku?"
Di tengah terpaan ketakutan yang begitu hebat, otak Praba memproses kalimat terakhir yang diucapkan Arjuna.
Adiknya? Siapa? Siapa adiknya Arjuna selain perempuan jahat itu?
Seolah mengerti apa yang tengah Praba pikirkan, Arjuna maju satu langkah. Mendekat ke arah Praba yang seperti kehilangan arah.
"Poor you, Praba. Bahkan sejak lama Runa berada di sekitarmu. Dia bekerjasama dengan suamimu. Oh, jangan lupakan fakta, jika mereka dulu sepasang kekasih yang tidak mendapatkan restu mertuamu dan kemungkinan besar itu karenamu. Sudah tahu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelana Merajut Asa
RomanceSematan bodoh nyatanya tak serta merta salah disandingkan dengan Praba. Demi menebus balas budi yang diterimanya dulu, dia menyanggupi menikah dengan seseorang yang bahkan cintanya masih terhambat di masa lalu. Berharap bila cinta itu datang kepadan...