juuichi-!

245 26 1
                                    

"Soobin mau menjemput Kanghoon dan yang lainnya?"

Seokjin menyandarkan dirinya di kursi kebanggaannya ketika Soobin baru saja masuk membawa beberapa dokumen yang dimintanya. Adiknya itu mengangguk, ia berjalan mendekati kakaknya.

"Kalau bukan aku, siapa juga yang mau melakukannya? Dirimu?" Seokjin tertawa.

Tangannya terulur menerima dokumen yang Soobin berikan.

Tak ingin segera pergi, Soobin memilih untuk duduk sejenak di kursi seberang meja Seokjin.

"Soyi sudah mengabari kalau mereka sudah terbang beberapa menit yang lalu. Sempat kena delay. Kamu mau jemput ketika Kai mengabari atau sesuai perkiraan kapan mereka mendarat?"

Soobin mengangkat bahu, "Tidak tau, mungkin jika menghitung penerbangan normal dari Jepang, mereka akan sampai dalam kisaran satu jam kedepan. Bisa jadi menjemput lebih awal, tidak sabar bertemu Kanghoon." Jawabnya dengan cengiran di akhir kalimatnya.

Seokjin mengulas sebuah senyum melihat Soobin. Kanghoon benar-benar disayang oleh Soobin, sebegitu besarnya.

Soobin yang dulunya pusing memikirkan kuliah, mau membawa pulang bayi yang ditemukannya. Uang bulanan dan hasil kerja paruh waktunya, tidak lagi dihabiskan untuk berfoya-foya bersama teman-temannya. Ia prioritaskan semua kebutuhan bayinya. Gaji pertamanya yang diincar untuk membeli berbagai barang, dialokasikannya untuk membeli baju hingga mainan untuk Kanghoon.

Meski Soobin lebih muda darinya ketika menjadi seorang ayah, tapi Seokjin tak melihat kegagalan yang berarti dari Soobin. Meski Seokjin lebih dulu mempersiapkan diri untuk itu, Soobin ternyata jauh lebih baik ketika merawat seorang anak. Soobin yang dulu dikenalnya tak terlalu tertarik pada anak, kehadiran Kanghoon membawa perubahan.

"Hanya seminggu pisah dari Kanghoon, sudah sebegitu rindunya?"

Pertanyaan Seokjin membuat Soobin tersenyum.

"Kanghoon is everything for me, hyung. Everything." Soobin menerawang ke langit-langit ruangan Seokjin. Mengingat wajah anaknya. "Setiap kali melihat kedua matanya, rasanya seperti mengingatkan ku pada seseorang."

Sebelah alis Seokjin terangkat. "Mantanmu? Yang menolak lamaran mu itu?" Tebaknya, mengingat bagaimana Soobin pernah begitu mencintai masa lalunya.

Tanpa tersinggung, Soobin hanya tertawa kecil. Ia menggeleng pasti, menjadi jawaban bahwa tebakan Seokjin salah.

"Bukan. Seseorang pernah menjadi kesalahan terbesarku, kesalahan terindah yang pernah kutemui." Senyum Soobin berubah jadi lebih sedih, "Sayangnya aku tak mengingat banyak tentangnya, bahkan wajahnya. Aku mencarinya bertahun-tahun, tapi tidak menemukannya. I just want to fix it."

"You fell for him?"

Soobin mengangguk kecil. "I guess, i love him."

Giliran Seokjin yang mengangguk, ia mengerti inti cerita singkat Soobin. Ia tak mau memborbardirnya dengan pertanyaan lain.

"What about Beomgyu? Seems like you fall for him too."

Kali ini, Seokjin dengan jelas bisa melihat perubahan air muka Soobin menjadi lebih cerah saat Seokjin menyebutkan nama Beomgyu.

Ah, perlukan pertanyaannya dijawab? Seokjin rasa, dari ekspresi wajah Soobin, jawabannya sudah jelas.

"Hyung, tentang Beomgyu. Eum, entahlah. Rasanya aku seperti merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar jatuh cinta. Rasanya, seperti sudah mencintainya bertahun-tahun dan perasaan itu terus membara."

Seokjin tertawa. Ia tak pernah tak tertawa, setiap kali Soobin menceritakan padanya, bagaimana perasaan jatuh cintanya. Bahkan di usianya sekarang, Soobin tetap terlihat seperti anak muda bodoh yang baru pertama kali jatuh cinta.

•Hiraeth• [𝑐.𝑠𝑏//𝑐.𝑏𝑔] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang