December Rain (Part 2)

784 99 21
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.










December Rain


















Rintik gerimis membasahi jendela besar yang terletak dibelakang meja kerja tuan Perdpiriyawong. Tuan Perdpiriyawong duduk dibalik meja kerjanya, menatapi Zee yang saat itu masih berusia 14 tahun, mata tegas pria itu memperhatikan sosok kurus dan dekil Zee dari ujung kepala sampai ujung sepatunya. Memperhatikan tubuh kurusnya, wajah penuh lebamnya, dan penampilan lusuhnya.

“siapa namamu?” tanya tuan Perdpiriyawong dengan tegas.

“Zee pruk tuan.”

Tuan Perdpiriyawong menganggukkan kepalanya. “dimana kamu tinggal Zee pruk? Saya akan mengirimkan hadiah, sebagai ucapan tetimakasih karena sudah menemukan cucu saya.”

Zee terdiam, memandangi ujung sepatu lusuhnya. Bagaimana caranya dia mengatakan pada pria kaya ini jika dia sudah tidak punya rumah lagi sekarang? Dia sudah di usir oleh ayahnya sejak beberapa hari yang lalu, dan tinggal di gang-gang sempit dan mendapatkan makan dari sisa-sisa makanan orang yang sudah tidak layak lagi? Dan bahkan, untuk mendapatkan makanan sisa itupun, Zee harus berebut dengan anak jalanan lainnya, dan tidak jarang malah berakhir dengan dipukuli oleh anak jalanan lain hanya karena sebungkus nasi basi. Zee merasa malu untuk mengatakannya.

“sa-saya....” sahut Zee, terbata, ragu. Lalu terdiam kembali. Pandangan Matanya sama sekali tidak meninggalkan ujung sepatunya yang lusuh, terasa sangat tidak pantas dipijakkan diatas lantai marbel rumah keluarga Perdpiriyawong yang mewah ini.

Tuam Perdpiriyawong masih memandangi Zee dengan seksama. Mata pria itu jeli memperhatikan sosok Zee yang lusuh dan terlihat sudah tidak mandi selama beberapa hati.

“Zee pruk, dimana kamu tinggal? Apa kamu memiliki keluarga?” tanya tuan Perdpiriyawong lagi, kali ini dengan sedikit tegas, ada perintah didalam nada bicaranya agar Zee menjawab pertanyaannya kali ini.

Terdiam sesaat, Zee memikirkan ayahnya yang lebih memilih minuman keras dan pelacurnya dibandingkan anak semata wayangnya. Keluarga? Zee rasa dia sudah tidak memilikinya lagi sekarang. Zee lebih memilih untuk mati dibandingkan harus kembali kedalam rumah pria itu. Kehidupan Jalanan yang keras padanya selama beberapa hari ini bahkan lebih baik didalam pikirannya dibandingkan rumah yang terasa seperti neraka itu.

Memberanikan diri, Zee akhirnya mengangkat kepalanya. Lalu menatap tuan Perdpiriyawong dengan yakin, walau seluruh tubuhnya terasa panas dingin menatap mata tegas pria itu.

“Tidak ada tuan. Saya sendirian, saya tidak punya rumah, dan juga keluarga. Saya sendirian.”

Tuan Perdpiriyawong menatapi matanya, dan Zee sekuat tenaga mempertahankan tatapan mata keduanya. Zee tidak ingin terlihat seperti penakut dihadapan pria ini.
Entah berapa lama tuan Perdpiriyawong memandangi Zee, tapi pria itu kemudian menganggukkan kepalanya lalu menyunggingkan sedikit senyuman.

ZeeNunew Oneshoot CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang