CHAPTER 09

19.9K 161 0
                                    

Dominic masih santai memakan sandwich sayurnya. Membiarkan anak buahnya memaksa mengaku investor yang waktu itu tiba-tiba saja membatalkan menanam modal di perusahaannya.

"Masih tidak mau mengaku, Pak! Jika seperti ini boleh saya menghajarnya?" tanya Romeo anak buah Dominic yang dua tahu lebih muda darinya.

Badan besar seperti bodyguard, tegap tinggi, berperawakan gahar, banyak tato ditubuhnya dan terlebih cukup pintar untuk dalam pekerjaan meretas.

Seperti kemarin. Romeo berhasil meretas CCTV kota untuk melihat ke mana perginya investor yang berada dihadapannya saat ini setelah membatalkan perjanjiannya begitu saja.

"Saya serahkan padamu. Buat dia mengakui kenapa dia mau berubah pikiran sampai memilih Aleasianno daripada saya," sebelum Dominic menggigit sandwichnya kembali.

Romeo mengangguk mengerti. Ia menarik keras kemeja yang dikenakan sang investor. Wajah orang tersebut sudah memar akibat beberapa pukulan ringan yang Romeo layangkan sebelumnya.

"Jawab saya! Kenapa kamu memilih Aleasianno daripada Pak Dominic?! Kau tahu sendiri bukan Aleasianno pernah hampir bangkrut?! Kenapa kau masih mau menjadi investor untuk perusahaannya?!"

"T-terserah saya. Hak saya untuk menanamkan modal di perusahaan siapa," jawab sang investor kesakitan karena sudut bibirnya robek.

"Masih tidak mau mengaku, huh?"

BUGH!!!

"Arghhh! Shh ...." Sang investor terhuyung akibat pukulan keras dari Romeo. Dominic yang melihat itu biasa saja. Jiwa tanpa nyawa. Sudah menganggap hal biasa.

Ponselnya bergetar. Dominic merogoh saku celana. Panggilan masuk dari Papanya. Pria itu berdecak sebal. Entah lah, ia merasa sebal saja ketika Papanya sudah menghubungi.

Dominic beranjak keluar dari ruangan yang tanpa jendela tersebut. Melonggarkan sedikit simpulan dasi yang terasa mencekik.

"Ada apa?" tanyanya begitu menjawab panggilan.

"Sopan kah seperti itu ketika orang tua menelepon?"

Ini lah yang menjadi alasan Dominic sebal ketika Papanya menelepon. Peter selalu mempersalahkan hal kecil. Hal yang seharusnya tidak dipermasalahkan pun, pria tua itu permasalahkan.

"Siang, Papa. Ada apa?"

"Tidak maaf terlebih dahulu? Cih yang benar saja. Tidak ikhlas sekali kamu."

Dominic menghela napas lelah. Memijat pangkal hidungnya beberapa saat.

"Hm. Maaf, Papa. Siang, ada apa?"

"Kapan kamu pulang bawa calon istri, huh? Kamu bilang satu minggu lagi. Sudah lewat satu minggu, kamu bilang satu minggu lagi, sudah lewat satu minggu, kamu bilang satu minggu lagi. Seperti itu saja terus. Berubah haluan menjadi tukang hutang kamu selalu menjanjikan yang tidak pasti?"

"Shh ... Pa. Pekerjaanku banyak. Aku tidak bisa meninggalkannya. Apalagi harus terbang ke Fransisco untuk memperkenalkan calon istriku. Jangankan ke Fransisco, rasanya aku tak mau bernapas satu detik pun jika itu mengharuskan aku meninggalkan pekerjaan."

"Cih bicaramu seperti orang benar saja! Terlalu berlebihan!"

"Iya, Pa."

"Besok. Besok! Besok Papa sama Mama kamu ke Las Vegas jika nanti malam kamu tidak ke sini!"

"A-apa?! Un-untuk apa Papa sama Mama ke sini? A-aku, aku saja yang ke sana. Tunggu."

"Takut, huh?" ledek Peter dari seberang sana.

Sialan aku harus membawa siapa untuk berpura-pura menjadi calon istriku? batin Dominic menerka-nerka.

"Tidak! Lihat saja nanti malam. Aku akan datang ke sana bersama calon istriku! Aku akan membungkam mulut Papa yang sering bertanya kapan aku pulang bawa calon istri!"

𝐍𝐀𝐔𝐆𝐇𝐓𝐘 𝐁𝐎𝐒𝐒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang