Eliza tak henti menatap kagum bagaimana kota Florida dengan julukannya, Arcadia dengan komunitas rumah elite-nya yang tiadak dua.
Selama itu juga Dominic mencuri-curi pandang ke arah sekretarisnya tersebut. Entah lah, pria dewasa itu juga tidak tahu apa yang membuatnya seolah tergila-gila pada perempuan cerewet yang membuatnya terbakar hasrat sewaktu-waktu.
"Eh, Pak jika kita pergi orang tua Bapak bagaimana? Tidak akan marah kan?" tanya Eliza menoleh tiba-tiba. Untung saja Dominic tidak sedang menoleh ke arahnya, jika iya sudah dipastikan pria berusia dua puluh tujuh tahun itu tertangkap basah.
"Kamu pikir saya masih anak kecil yang pergi harus bilang dulu?" Dominic menjawab seraya menoleh sekilas. Walaupun jalanan Florida tidak seramai Las Vegas, tetap saja ia harus fokus mengendarai mobilnya.
"Iya bukan seperti itu, Pak maksud saya. Siapa tahu nanti ketika kedua orang tua Bapak pulang, bingung mencari kita karena tidak ada di rumah."
"Sudah diam. Nikmati saja perjalanannya. Saya tidak akan ke sini lagi nantinya," jawab Dominic cepat yang membuat Eliza mengernyitkan dahi bingung. Sedikit terkejut juga mendengar ucapan bosnya tersebut.
"S-serius, Pak? Tidak akan ke sini lagi?" tanyanya. Dominic tak menjawab. Menoleh pun tidak.
Sadar tidak akan dijawab, Eliza celingak-celinguk mencari tasnya. Konyol sampai meraba tubuhnya.
"Eh, saya tidak bawa tas, ya, Pak?" tanyanya bingung sendiri. Dominic kembali menoleh.
"Mana saya tahu. Kenapa jadi bertanya kepada saya," jawabnya sebelum membelokan mobil ke arah kanan untuk memasuki gerbang jalanan menuju kawasan pantai.
"Ishh, iya aku lupa bawa tas. Tadinya kan aku ingin foto-foto di sini, kenang-kenangan nanti saya tidak bisa ke sini lagi," gerutunya tanpa sadar Dominic sudah memarkirkan mobil di samping tiang pembatas jalan.
"Turun. Sudah sampai," ujarnya.
Tak perlu menunggu jawaban Eliza terlebih dahu, Dominic melepaskan seatbelt cepat-cepat keluar dari mobil. Sinar matahari pagi begitu menyorotnya yang membuat Dominic memicingkan mata silau.
Eliza pun sama. Begitu keluar, ia memicingkan mata. Tangannya ditarik begitu saja oleh Dominic setelah pria itu mengunci mobil lewat alarm lock di kunci mobil yang ia masukkan kedalam saku celana barusan.
"Kita mau langsung berenang, Pak?" tanya Eliza seraya terus mengikuti langkahnya Dominic yang entah ke mana akan pergi membawanya.
Dominic tak menjawab. Eliza pun tak mempersalahkannya untuk kali ini karena ia merasa silau sendiri. Kedua matanya mengerjap ketika sampai di salah satu toko kaca mata di samping jalan raya.
"Pilih saja yang kamu suka," ujar Dominic. Pria itu bergeser ke arah deretan kaca mata hitam yang memang cocok dipakai untuk dipantai.
Eliza cepat-cepat memilih kacamata yang disukainya. Kesempatan tidak datang dua kali, batin Eliza. Sekretaris itu mencoba beberapa kaca mata hitam dan sesekali berpose di depan cermin yang memang sudah tersedia.
Dirasanya sudah cocok, Eliza menepuk pundaknya Dominic yang membuat bosnya itu menoleh dengan kaca mata hitam sudah bertengger di pangkal hidung mancungnya.
Untuk sesaat, Eliza terkesiap bagaimana kontrasnya kulit wajah Dominic yang putih bersih dengan warna kaca mata hitamnya yang dipake.
Dominic menarik kacamata yang Eliza pakai sampai membuat sang empunya mengerjap. Pria dewasa itu juga melepaskan kacamata yang dirinya pakai. Membayarnya terlebih dahulu.
Eliza hanya diam. Masih sedikit terkesiap melihat Dominic yang begitu tampan baginya hanya karena memakai kaca mata hitam.
"Pakai lagi. Saya tidak mau punya sekretarisnya buta," celetuk Dominic seraya kembali memberikan kacamata yang Eliza barusan pakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐍𝐀𝐔𝐆𝐇𝐓𝐘 𝐁𝐎𝐒𝐒
Teen Fictionᵎᵎ mature content! the BOOK ONE of van der trilogy ᵎᵎ Elizabeth Stewart harus menabahkan hatinya selama ia bekerja di bawah kendali Dominic Robbin, bos tempatnya bekerja yang begitu mesum kepadanya. Pesona yang dimilik Dominic membuat para wani...