Matahari sudah tenggelam di ujung sana. Cahaya jingga di ufuk barat pun mulai lenyap. Angin malam yang terasa menusuk punggung tak dirasa oleh dua insan yang saat ini sedang duduk di teras penginapan dengan secangkir coklat panas di genggaman masing-masing.
"Terus bagaimana? Orang tua Bapak tidak marah?" tanya Eliza setelah menyesap coklat panasnya. Kepulan asap masih samar-samar mengepul dari dalam gelas. Dominic yang pandangannya menatap deburan ombak lantas menoleh.
"Cih, sudah saya bilang. Memangnya saya anak kecil yang harus bilang dulu jika pergi? Tidak kan?" jawabnya terselip nada kesal, Eliza menyadarinya.
"Iya, biasa saja si, Pak jawabnya lagian kan saya hanya bertanya."
"Oh."
Eliza menghela napas berat. Dia memutuskan kontak mata dengan bosnya itu, sampai di mana Dominic memanggil yang membuatnya harus kembali beradu tatap.
"Eliza? Dada kamu kenapa sedikit membesar?" tanya pria dewasa itu tanpa ada hujan atau petir tiba-tiba saja berucap seperti itu. Eliza yang mendengarnya lantas memukul sisi lengannya Dominic.
"Bapak kalo ngomong! Mana ada dada saya membesar! Ishh, pikiran bapak ya kadang-kadang! Errghh!"
Dominic terdiam. Menatap dadanya Eliza yang memang terlihat sedikit membesar. Pikiran konyol tentang obrolannya bersama Harris lewat begitu saja di kepalanya.
"Jika masih kecil. Kamu besarin dong. Remas-remas setiap hari!"
"Heh!" Dominic berseru sebal. Sedangkan Harris malah tertawa.
"Dengerin aku. Awalnya istriku juga seperti itu, tapi setelah aku remas-remas, pelan-pelan jadi besar. Hampir setiap malam aku remas payudara sama pantatnya sebelum tidur."
"Mesum, sialan!" Dominic memutar bola mata. Harris semakin tertawa dibuatnya.
"Ucapannya Harris ada benarnya juga. Dadanya Eliza sedikit membesar. Apa jangan-jangan semakin sering dan kencang aku meremasnya, dadanya Eliza akan lebih besar lagi?" batin Dominic bertanya-tanya.
"Pak? Pak Dominic!" Eliza memekik yang membuat bos mesumnya itu terkesiap. "Kebiasaan sekali kalo sudah bengong! Mana senyum-senyum sendiri lagi! Periksa saja Pak, ikut saran saya. Takutnya sudah akut."
"Kamu pikir saya gila." Sentil Dominic terhadap kening sekretarisnya tersebut. Eliza mengaduh pelan, mengusap keningnya sekilas.
"Tapi saya serius, dada kamu sedikit membesar. Ucapan (nama temennya Dominic) ada benarnya juga. Semakin sering diremas maka akan semakin besar," ujar Dominic masih membahas topik yang sama.
Eliza mengernyitkan dahi. Di satu sisi malu dan marah juga kenapa bosnya itu malah membahas dadanya. Di satu sisinya lagi, Eliza merasa lucu saja mana ada dadanya membesar hanya karena sering diremas.
"Ternyata Bapak orangnya gampang percaya ya, yang benar saja mana mungkin hanya diremas jadi membesar. Bapak pikir itu burung Bapak?"
Dominic menahan bibir agar kedua ujungnya tidak tertarik ke atas. Astaga yang benar saja, perempuan itu masih ingat kejadian tadi pagi disaat meremas burungnya Dominic yang semakin diremas lama semakin membesar.
"Namanya Robbert," celetuk Dominic. Eliza mengernyitkan dahi seraya menyesap coklat panas. "Nama burung saya."
"Uhukk!!" Eliza tersedak. Dominic menaruh gelasnya dipinggir. Ia mengusap tengkuk sekretarisnya tersebut. Entah lah, hanya refleks atau Dominic memang seperhatian itu kepada Eliza.
"Pelan-pelan minumnya, saya tidak akan menikah dengan orang lain. Tenang saja," ujarnya bercanda. Eliza mengusap dada dan lehernya sekilas.
"Bapak ya kadang-kadang. Khmm! Saking tidak ada kerjaannya, burung Bapak saja, Bapak kasih nama," ujar Eliza merasa bingung dan konyol sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐍𝐀𝐔𝐆𝐇𝐓𝐘 𝐁𝐎𝐒𝐒
Teen Fictionᵎᵎ mature content! the BOOK ONE of van der trilogy ᵎᵎ Elizabeth Stewart harus menabahkan hatinya selama ia bekerja di bawah kendali Dominic Robbin, bos tempatnya bekerja yang begitu mesum kepadanya. Pesona yang dimilik Dominic membuat para wani...