"Alhamdulillah, terimakasih, Nak Freya, mau menerima lamaran kami." Pak Arifin menarik napas lega.
Freya tersenyum. Hatinya bungah, tidak sia-sia selama ini ia melancarkan jurus pedekate demi mendapatkan sang pujaan hati.
Semenjak pertamakali Kahfi masuk di kelas Freya untuk mengisi mata kuliah Psikologi Komunikasi, ia langsung terpesona pada dosen muda itu. Lalu saat tahu Kahfi membina UKM rohis fakultas ilmu sosial dan politik (FISIP), ia jadi sering nongkrongin mushola, entah untuk shalat berjamaah atau ikut-ikutan mendengarkan kajian. Padahal sih, tujuan utamanya demi bisa lebih sering bertemu Kahfi.
Nggak cuma itu, Freya yang sehari-hari biasa tampil urakan, dengan t-shirt ketat sebatas pusar dan celana jins sobek-sobek di bagian lutut, bahkan rela mengubah penampilannya. Kini ia mulai menutup aurat, memakai pakaian serba panjang juga hijab. Berharap dengan begini, Kahfi mau meliriknya.
Kemarin saat kajian, ia mendengar seorang ustad berkata, lelaki baik-baik untuk wanita baik-baik. Jadi kalau kita mau dapat lelaki soleh, ya kita harus jadi solehah dulu.
Ah, sebenarnya bukan baru sekali itu ia mendengar tausyiah tadi, tapi berhubung kali ini tengah terpikat dengan Primus alias pria mushala, makanya pesan ini jadi ngena banget.
Kedua orang tuanya sampai heran sewaktu Freya mau berangkat ke kampus, malah membongkar lemari pakaian mereka, lalu meminjam kemeja Papa.
"Yakin kamu pakai kemeja Papa ke kampus Fre?"
"Iya Pa, sekarang itu lagi ngetren cewek-cewek pakai baju kebesaran. Lagian Freya kan udah berhijab sekarang."
Papa memandang kagum anak gadisnya. Sudah berulangkali Papa menasihati Freya agar mengenakan baju yang lebih sopan dan rapi tapi hal itu tak pernah diindahkan. Katanya nanti, kalau sudah dapat hidayah.
Papa sampai pusing menghadapi anak semata wayangnya itu. Lalu sekarang, tak ada angin tak ada hujan ia tiba-tiba berhijab. Kesambet malaikat apa gimana tuh bocah?
"Nih, baju-baju lama Freya buat Mama aja." Freya menyerahkan setumpuk baju pada mamanya.
"Eh, maksudnya Mama kamu suruh pakai baju kurang bahan gini?" Mama memandang putrinya keheranan.
"Nggak lah, Ma. Ini Freya kasih buat Mama, untuk keset kamar mandi atau ... lap kompor juga boleh."
"Oooh..." Mama manggut-manggut.
"Tapi Ma, sayang deh kalau dijadikan lap, masih bagus begini." Papa mengambil beberapa baju Freya yang ada di tangan Mama dan mengamatinya.
"Udah, dipakai Mama aja."
"Apaa?" jerit Mama dengan mata yang terbuka lebar. "Papa suruh Mama jalan-jalan keluar rumah pakai ini? Nggak malu apa, Papa?"
"Bukan pakai keluar lah, Ma. Tapi pakai di kamar, hanya di depan Papa." Papa mengerling genit. Freya hanya geleng-geleng kepala melihat Papa yang sudah tua tapi perlakuannya pada Mama seperti orang masih pacaran saja.
Setelahnya, gadis itu sudah tak peduli dengan apa yang diperbincangkan Papa dan Mama. Pikirannya kembali melayang pada Kahfi yang baru saja kemarin ia ketahui menjadi tetangga barunya.
Ah, semesta seolah mendukung usahaku mendekati Mas Kahfi. Begitu yang ada di benaknya.
Orang tua Kahfi, ternyata seorang pengusaha yang beberapa waktu lalu santer menjadi perbincangan para warga sekitar karena membeli rumah megah dengan halaman luas yang baru saja dijual pemiliknya dengan harga tak kira-kira, 10Milyar!
Harga segitu tentu saja ringan bagi Ayah Kahfi, lelaki kaya raya pemilik banyak perusahaan. Bukan hanya di Indonesia, ia juga pemegang saham terbesar di beberapa perusahaan negara tetangga, bahkan sampai Amerika.
Cukup sulit mendekati Kahfi. Pemuda itu memang selalu bersikap sopan dan ramah pada siapa saja, tapi ia sangat menjaga jarak dengan wanita.
Namun Freya tak kehabisan akal, ia melakukan pendekatan pada orang-orang di sekeliling pria berusia dua puluh tujuh tahun itu.
Freya seringkali datang ke rumah Kahfi sekedar membantu Tante Tari – ibunda Kahfi, menata tanamannya atau mengobrol basa-basi dengan Ijah, pembantu di rumah itu. Tak jarang ia juga curhat dengan kucing peliharaan keluarga Kahfi juga semut merah yang kebetulan sedang berbaris di dinding rumahnya. Hm, antara ramah dengan setres memang beda tipis yak.
"Tapi mohon maaf lho, anak saya nggak bisa ikut datang ke sini. Pulang kerjanya malam terus, saya kan nggak enak kalau ke sini terlalu malam," terang Bu Tari.
"Iya, berangkatnya juga pagi sekali. Katanya sih, sebagai pimpinan dia harus datang paling pagi ke tempat kerja untuk memberi contoh." Pak Arifin menimpali.
"MasyaAllah sungguh berdidekasi sekali anaknya, Pak," puji Bu Nina - ibunda Freya. "Nggak apa-apa, Pak, Bu. Dilamar oleh kedua orang tuanya saja sudah cukup."
Freya mengangguk menyetujui.
"Kevin itu, baru saja pulang dari Amerika dan masih penyesuaian untuk mengurus perusahaan papanya yang di Indonesia."
Kening Freya mengernyit.
Tunggu-tunggu, tadi Tante Tari menyebut nama siapa? Kevin? Apakah Kahfi dipangil Kevin oleh orang tuanya? Bisa jadi kan, nama panjang Kahfi itu Kevin Al Kahfi atau ... Kevin Pahlevi tapi panggilannya Kahfi biar lebih terdengar islami. Tapi Amerika? Setahu Freya, Kahfi baru saja lulus kuliah S2 di Kairo Mesir tiga bulan lalu dan langsung jadi dosen di kampusnya.
"Nah, ini." Tante Tari mengeluarkan ponsel dari tasnya. Freya tersenyum lega begitu melihat foto Kahfi terpampang di layar gawai. Jadi, ia tak salah menerima lamaran, kan.
"Ini Kahfi, Freya pasti sudah kenal, kan? Nah, yang sebelahnya ini Kevin, kakaknya Kahfi, yang akan jadi suami kamu."
Doeng!!!!
🥰🥰🥰
Suka cerita ini dan ingin baca lanjutannya? Support yuk dengan follow author, vote dan masukin ke library, komen jugaaa.
Cerita ini di KBM App sudah part 19. Rencana akan dipost di wattpad seminggu 2. Ahad dan Rabu (mudah2an nggak lupa, kalo lupa ingetin ya wkwkwk, gedor aja di kolom komen).
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Terima Lamaran
RomanceNaksir sama adeknya, malah salah terima lamaran kakaknya. Akhirnya terpaksa nikah demi nama baik keluarga. Cerbung ini bergenre romantis komedi dengan sedikit sentuhan religi. Gaess maapkan saya belum bisa up lanjutan cerbung Ogah Nikah, sebagai...