20. Menolak Ta'aruf

2.1K 98 23
                                    

Sampai di kamar, Kahfi merebahkan tubuh sejenak lalu mengobati lukanya. Ia lantas teringat ponselnya yang mati semenjak beberapa jam lalu karena kehabisan daya. Segera dihubungkannya ponsel itu ke aliran listrik dengan charger. Usai membersihkan diri dan bersiap istirahat ia sempat membuka pesan-pesan yang sudah sedari tadi masuk tapi belum dibacanya. Salah satunya dari Husin sahabat ikhwannya.

"Fi, ada akhwat siap nikah, keponakan ustadz Zaenal, kamu mau taaruf sama dia? Mahisiswi tingkat akhir dan aktivis masjid juga. Kalau mau nanti aku sampaikan pada ustadz."

Kahfi menghela napas, semenjak pulang ke Indonesia, sudah kesekian kalinya ia ditawari taaruf oleh ustadz dan beberapa sahabatnya, namun ia selalu menolak. Sampai teman-temannya heran, pasalnya akhwat yang ditawarkan pada Kahfi high quality jomblo semua. Kurang apa mereka sampai Kahfi menolak coba.

Namun kemarin, entah angin dan hujan mana yang membuat Kahfi dengan serius mengutarakan bahwa ia sudah siap nikah, dan InsyaAllah mau menjalani proses taaruf.

"Sin, sepertinya aku berubah pikiran." Kahfi membalas pesan sahabatnya. Sesama dosen muda namun di fakultas yang berbeda.

"Eh, berubah pikiran gimana?"

"Aku masih berjuang mengiklaskan masa lalu, belum berhasil, kasihan calon istriku nanti."

"Maksudmu? Apa ada kaitannya sama perempuan yang kamu suka tapi udah nikah sama orang lain itu?"

Kahfi memang pernah bercerita pada Husin bahwa ia sempat ingin melamar seorang gadis, tapi sayangnya keduluan orang lain. Namun ia tidak menceritakan secara detail identitas gadis itu.

"Iya."

"Bukannya kamu bilang sudah mengikhklaskan dan siap untuk membuka diri pada akhwat lain."

"Karena kupikir ia sudah bahagia bersama orang yang tepat. Tapi sepertinya tidak."

"Jangan bilang ... kamu menunggu jandanya."

Astaghfirullah ... Kahfi beristighfar dalam hati. Sepertinya kalimat itu sangat tidak pantas, meski sempat terlintas juga di kepalanya.

"Bukan seperti itu. Masih ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan jadi belum sempat memikirkan soal taaruf. Nanti biar aku bicara langsung pada ustadz Zaenal."

Pagi harinya, Kahfi sudah duduk di meja makan ketika Freya dan Kevin datang. Sepasang suami istri itu memang selalu datang ke rumah Mami Papi tiap weekend atau tanggal merah.

"Ya ampun Kahfi, muka kamu ... kenapa?" tanya Mami begitu keluar dari dapur dan menjumpai anak lelakinya.

"Semalam Freya ..."

"Jatuh Mi." Kahfi cepat-cepat memotong ucapan Freya.

"Jatuh? Kok bisa?" Mami memperhatikan pipi lebam Kahfi dengan seksama. "Ada yang berani jatuhin kamu? Mana orangnya biar Mami omelin sampai pingsan!"

"Mi, udah cukup waktu Kahfi kecil, Mami ngomelin kodok atau polisi tidur saat Kahfi jatuh." Kahfi tersenyum, mencoba menenangkan sang Mami. Seperti kebanyakan ibu-ibu pada masa itu, Mami memang suka sekali bilang 'kodoknya nakal ya' kalau anak-anaknya terjatuh.

"Sekarang, cukup nasihati Kahfi agar berhati-hati, ya."

Mami menghela napas. "Iya, iya. Kamu hati-hati ya Kaf. Jangan sampai jatuh lagi."

"Eh, Freya udah datang." Mami menoleh. Karena terlalu kuatir pada Kahfi, Mami sampai lupa belum menyapa menantunya.

"Iya, Mi." Freya mencium punggung tangan Mami lalu menyerahkan sebuah bungkusan. "Freya beliin kue buat Mami."

"Waah, makasih ya, Sayang. Lho Kevinnya mana?"

****

Bab udah dipangkas yaa. Mon maap bagi yang a gercep bacanyaa. Yang ga sabaran baca bab lanjutannya bisa ke KBM App (udah tamat) atau KaryaKarsa (part 30) berbayar tapi murah kooo.

Mau lanjut cepet di sini komen kudu rame duluuu yaaa.

Salah Terima LamaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang