"Memang perlu untuk memberitahukannya, ya?!" Seseorang bertanya dengan berteriak. Semua pandangan tertuju ke arahnya.
Fokusku langsung terpecah dan menoleh ke sumber suara.
Rubinna. Perempuan manja itu lagi.
Terlihat pelayan di belakangnya tertawa cekikikan sambil menatapku dengan rendah. Rubinna dan kawanannya lagi-lagi menghinaku. Aku pikir pelatihan keras Merletta setidaknya akan membuat perempuan itu diam, ternyata anjing berisik pun sulit untuk dipaksa bungkam.
"Bukankah kita semua tahu bahwa si Sampah itu akan gagal?! Percuma saja mengumumkannya." Hinanya sambil menatap semua orang seakan mengajak mereka untuk setuju.
Tertawalah mereka, tertawa terbahak-bahak mendengar hinaan terhadap diriku. Siapa yang tidak akan tertawa jika Kandidat murni dihina oleh sesamanya.
"Benar apa yang dikatakan nona Rubinna. Tidak mungkin manusia ini akan lulus." Seorang pria tidak dikenal setuju.
"Pergi saja dari sini, Sampah!"
"Benar! Pergi saja!"
Mereka bersorak-sorai seakan menyemangati binatang untuk pergi. Banyak dari mereka menyerukan kata-kata yang hampir tidak bisa ku dengar karena saling bertabrakan.
Bising sekali.
Berisik sekali.
Sekali lagi perasaan aneh yang baru kurasakan kembali muncul, menyeruak masuk ke dadaku, memenuhinya. Aku kembali menggenggam belati yang sempat ku lepas, perasaan jengkel sekaligus benci membuatku hampir gelap mata.
"Libitina! Keberadaanmu di sini itu seperti gerobak tanpa kucing. Ada tidak adanya dirimu tidak akan merubah apapun." Rubinna mengeluarkan tawa setelahnya. Dia berusaha menyembunyikan wajah tertawanya di balik kipas lipat khas wanita bangsawan.
Semua orang menyerukan kesetujuannya dan ikut tertawa. Menggelegar, saling bertabrakan, membuat kebisingan, memenuhi ruangan ini.
"Tidak usah malu dan pergi saja, Sampah! Tidak ada yang memperdulikan dirimu di sini," imbuhnya membuat semua orang semakin tertawa.
Ku bunuh saja dia. Iya. Tidak akan ada masalah. Bunuh saja dengan cepat, lalu—
"Semuanya diam." Suara bariton menginterupsi dan menghentikan kebisingan. Merikh.
Hening seketika, tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Siapa memangnya yang akan melawan Merikh? Tidak ada. Semua orang diam tidak bersuara dengan keringat dingin yang bermunculan.
Merikh menatap tajam semua orang yang membuat kebisingan. Mereka terpaku menatap kaki mereka, mati kutu di hadapan Merikh sang Penguasa.
Ah, sial.
"Lanjutkan." Perintah singkat Merikh kepada Pembaca acara.
Pembaca acara terpanjat begitu menerima perintah itu, dengan cepat Ia menetralkan nafasnya.
Kengerian itu kembali lagi, kemarahanku pada orang-orang tergantikan dengan kengerian membunuh Pembawa acara dan penyihir itu jika elemen Kegelapan itu terungkap.
Aku semakin menggenggam erat belati itu, rahangku mengeras, mataku menatap tajam di balik penutup mata.
Dia memulai, "Nona Libitina Kaltain, Kandidat murni. Elemen Bawaan adalah petir, dan elemen lain adalah air—" tepuk tangan meriah datang dari Zagreus dan diikuti oleh yang lain.
Tepuk tangan itu langsung menyadarkan diriku. Penyihir itu. Dia. Dia tidak membeberkannya. Baguslah. Perasaan lega langsung menyiram habis perasaan baru yang tadi muncul layaknya api berkobar.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTER
FantasyLibitina Kaltain, karakter fiksi figuran yang berada di novel jadul bertajuk 'Survive In Kaltain' yang kubaca secara kebetulan di perpustakaan umum kota karena memiliki sampul buku yang unik. Libitina adalah putri bungsu dari Kaltain yang terkenal s...