Season 2: CHAPTER 50

2.6K 431 81
                                    

Aku bersiap-siap sekaligus bermalas-malasan sampai sore menjelang. Sejujurnya hanya ada kedongkolan pada diriku saat ini karena berencana datang ke ruang kerja Merikh. Memikirkan harus melihat wajahnya saja rasanya aku ingin meledakkan seisi istana.

Keamanan super ketat yang ada pada istana ini benar-benar menjengkelkan, bahkan hanya membawa sebiji jagung dari luar saja harus laporan. Selain itu, mau tak mau orang yang membawa sesuatu dari luar harus menjamin dengan nyawanya.

Jika aku ingin membawa Cordelia dan yang lain, selain harus melapor, aku harus menjamin dengan nyawaku bahwa mereka tidak akan merugikan Kaltain. Keamanan seketat itu pun masih bisa ditembus beberapa kali, bodoh sekali.

Di sisi lain, Merikh pria tua sialan yang semoga mati besok itu sangat sibuk hingga susah ditemui. Memang pria bangkotan itu senang sekali mengunci diri di ruang kerjanya.

Aku yang merupakan anaknya — iyuh — pun harus menunggu di jam sore karena hanya pada saat itu Merikh longgar.

Saat menyegel semua kekesalanku dalam-dalam, diriku pun memasuki ruangan ini. Menyapa, meminta maaf dengan sopan sebagai formalitas, akhirnya aku membicarakan niatku. Beberapa menit diriku berdiri dengan senyuman berkedut karena menahan kekesalan, Merikh masih sibuk dengan kertas di hadapannya. Boro-boro bicara, melirik saja tidak.

Jujur saja semoga orang yang memberi Merikh kebiasaan mengabaikan orang ini mati dalam kotoran.

Sekitar sepuluh menit lagi diriku menunggu, Merikh akhirnya menyelesaikan kertas terakhirnya. Dilepasnya kacamata khas pria tua itu, dan ia mulai menatap lurus padaku.

Jika saja dia bukan bajingan yang ingin kubunuh, dia memiliki wibawa sebagai pria tua seksi yang diincar banyak wanita. Wajar saja istrinya tiga dan anaknya delapan sekarang, aura pria matang sangat kental pada dirinya.

"Ternyata kau masih punya malu untuk membawa sesuatu dari wilayah itu, Libitina." Sindirnya tajam dengan wajah kakunya. Tatapan matanya lurus menatap mataku yang tertutupi.

Ya, inilah Merikh yang kubenci. Memang seharusnya begini. Aku tersenyum tipis.

"Lalu? Apa bedanya dengan Anda, Yang Mulia?" Senyumanku merekah.

"Tak mungkin Anda melupakan 'sesuatu' yang Anda bawa setahun yang lalu."

Terlihat rahang Merikh mengetat menimbulkan uratnya. Tatapannya pun kian semakin dingin nan menusuk, mata yang bak api berkobar itu terasa begitu dingin mematikan.

Aku mengedikkan bahu seraya menghela napas. "Yah, tentu saja berbeda. Setidaknya saya memiliki sopan santun dengan meminta izin, tidak tahu-tahu 'sesuatu' itu berada di sini."

Dia terdiam sejenak seakan meredakan sesuatu, lalu berkata dengan sengaknya, "... Kau marah atas kedatangan Erletta? Tak kusangka kau masih memiliki sifat kekanak-kanakan itu, Libitina. Kau tak bisa membenci Erletta hanya karena aku terlihat memperhatikannya." Dia menghela napas tak habis pikir.

Pria tua sialan! Seharusnya aku yang menghela napas sekarang. Kepercayaan diri tingkat Dewa itu benar-benar sukar dihilangkan darinya, dan empat belas jam yang lalu aku berhadapan dengan anaknya yang memiliki sifat yang serupa.

Kedutan urat-urat yang kutahan-tahan ini menjadi sulit dikendalikan sangking kesalnya diriku. Sialan, sialan, sialan, jika saja diriku bukanlah Kandidat Kaltain, sudah kubunuh dia detik ini juga.

Karena hukum mutlak di sini benar-benar menahan diriku untuk tidak memenggal kepalanya, aku harus mengikat diriku untuk tidak memutus kepalanya itu.

Aku tak punya pilihan lain selain tertawa.

"Bfft! Saya apa?" Tanyaku tak percaya seraya menunjukku.

Senyuman simpul terukir pada wajahku. "Konyol sekali ya, Anda ini. Tidak mungkin 'kan, Anda beranggapan saya merasa cemburu setelah deklarasi kebencian saya yang sungguh-sungguh itu?" Kepalaku kumiringkan.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang