CHAPTER 4

16.6K 1.4K 17
                                    

Entah mimpi atau ilusi semata, 'Libitina' berdiri di atas air yang memantulkan langit biru berawan indah. Sepanjang mata memandang hanyalah pemandangan air yang seperti cermin dan langit biru menawan, terasa semilir angin menyapa lembut setiap permukaan kulitnya. Benar-benar suasana yang terlalu tidak realistis untuk dianggap sebagai kenyataan.

Berada dalam 'wujud' aslinya yang bukanlah seorang Libitina, melainkan Dea, remaja berusia tujuh belas tahun yang terkenal dengan otaknya yang encer. Rambut coklat kehitaman sebahu, wajah yang biasa saja, tubuh yang tinggi layaknya laki-laki dengan bahu lebar, adalah penampilannya sebelum merasuki tubuh Libitina.

... Aku hampir lupa soal penampilan asliku. Batin Dea sambil menatap kedua telapak tangannya yang penuh dengan bekas-bekas cambukan.

Ia menatap datar sekelilingnya seakan tidak terkejut sama sekali. Tatapan datar yang terkesan tidak memiliki kehidupan, raut wajah yang seperti akan mati karena bosan dan muak.

"... Biar kutebak, sekarang aku akan bertemu dengan Libitina asli." Gumam Dea sambil mendongakkan kepalanya menatap langit biru menawan dengan tatapan yang tersirat kekesalan.

"Kamu pintar menebak, Nona." Suara lembut langsung memasuki pendengaran Dea. Dia langsung berbalik ke arah sumber suara.

Menajamkan tatapannya begitu melihat sesosok yang ia ketahui namun tak pernah ia kenali. Rambut hitam dengan warna merah darah di ujung rambutnya, iris mata berwarna putih bersih layaknya orang buta, dan bagian tulang rahang kanannya yang terdapat bekas sayatan. Libitina.

"Ku anggap itu sebagai pujian."

"Tentu saja itu pujian."

Suara selembut sutra dan ekspresinya yang sama sekali berbeda dengan anggota keluarganya yang lain. Bertolak belakang dengan kesan seorang Kaltain, tak heran kenapa dia bisa dianggap sampah oleh keluarganya, dia benar-benar tidak mewarisi gen keluarga itu.

"Katakan saja intinya, aku muak berbasa-basi." Ujar Dea dengan muak, menyela sebelum Libitina mengeluarkan kata-katanya.

Bukannya kesal, Libitina malah tersenyum, membuat Dea ingin menampar perempuan di depannya.

Seenak jidat menempatkan jiwanya di raga Libitina, bisa-bisanya dia tetap bisa tersenyum.

"Bukankah akan lebih sopan jika aku meminta maaf terlebih dahulu?" Tanya Libitina, ia menautkan kedua tangannya ke belakang. Dea tidak menjawab pertanyaan Libitina.

"... Aku minta maaf karena membuatmu terlibat dalam kehidupanku, Dea. Aku tidak punya pilihan lain. Lalu, terima kasih karena telah memenuhi salah satu keinginanku." Libitina menunduk dengan penuh rasa bersalah pada hatinya.

"Sudah seharusnya." Libitina terkekeh dengan respon dingin Dea.

"Sebelum dirimu merasuki tubuhku, itu adalah kehidupan keduaku. Aku hidup lagi dengan memutar waktu, kembali ke umurku yang masih belia. Dengan kehidupan kedua yang kuharapkan akan mengubah nasibku, aku sedikit demi sedikit berusaha. Namun, seperti yang kau ketahui hasilnya, itu tidak berhasil. Seperti apapun aku berusaha, aku tidak bisa menyusul saudaraku yang terlalu jauh di depanku, penyiksaan demi penyiksaan kualami karena banyak kesalahan yang kulakukan saat berusaha, menambah goresan luka pada tubuh dan hatiku." Dia menatap murung kedua kakinya, meskipun tatapannya tertuju pada kakinya, namun pikirannya menerawang jauh ke kehidupannya yang gelap gulita.

"Lalu kau menyerah dengan bunuh diri. Jadi itu menjelaskan kenapa kematianmu terjadi lebih dulu, berbeda dengan novel aslinya ... Kau menyedihkan, Libitina." Dea mengatai Libitina dengan nada tidak suka sambil menatap benci ke arahnya.

"Kau pintar sekali menebak, Dea."

"Rasa sakit luar biasa yang kurasakan saat terbangun dari tubuhmu menjelaskan semuanya."

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang