Season 2: CHAPTER 49

2.6K 397 75
                                    

Brak! "Hei, Adik bungsu!" Zagreus kembali kepada kebiasaannya yang menjengkelkan. Mendobrak masuk kamarku tanpa tahu malu.

Mulutku berdecak sebal. "Kak, berhentilah masuk tanpa izin."

Zagreus mencebik. "Berisik. Daripada itu, ikut aku ke lapangan." Jempolnya menunjuk pada pintu.

"Untuk?"

"Berduel. Sudah empat tahun kita tidak melakukan duel mingguan, jadi kenapa tidak hari ini saja?" Ujarnya jenaka.

Aku mengernyit.

Aku dan Zagreus memang memiliki jadwal untuk berduel pedang setidaknya seminggu sekali semenjak dia tak lagi sibuk mengajariku. Sayangnya bukan diriku yang mau, tapi dia yang menyeretku paksa.

Sampai sekarang aku tidak mengerti manfaat dari berduel jika aku dan dirinya bukan lagi guru dan murid berpedang. Mungkin yang dia inginkan hanyalah lawan yang sepadan, tapi setiap minggu berduel dengannya itu sangat menjengkelkan.

Mengamuk dan merengek jika aku menang, dan sangat sombong jika aku kalah, lalu menantang lagi jika diriku ketahuan mengalah. Intinya berduel dengannya hanya membuatku naik darah. Ribet.

Aku tidak tahu maunya apa.

Diriku menghela napas. "Ajak saja salah satu dari ksatria yang ada. Aku tak punya waktu saat ini."

"Hei, kau bicara begitu saat berleha-leha di depanku. Tahu malu sedikit tidak bisa kah?" Tunjuknya padaku.

"Lihat saja dirimu yang masuk ke kamarku tanpa izin, jangan pedulikan aku."

Dia dengan lancangnya merebut buku yang kubaca. Tentu mataku — yang tak kututupi — mendelik kesal padanya. Empat tahun aku tidak melakukan satu-satunya hal yang kusukai, baru hari ini aku punya waktu, dan dia mengganggu hobiku ini.

Ditutupnya buku itu, lalu dikembalikan ke rak buku. Penempatan bukunya pun salah, buku itu harusnya berada di bawah, bukan di tengah. Kemudian dengan tak bersalah dia berkacak pinggang dan balas mendelik.

"Aku tidak mau."

"Dan aku belum selesai bicara," dengkusnya.

Kerutan antara alisku semakin dalam. "Dipikir otak bodohmu itu aku peduli?"

"Semakin hari kau semakin kurang ajar, Bocah."

Aku menyeringai. "Terima kasih."

"Itu bukan pujian, Bocah sialan!" Ledaknya kencang sekali.

Tiba-tiba dia menarikku untuk keluar dari selimut, diseretnya aku di depan lemari pakaian. Lagi-lagi dengan lancang dirinya membuka lemari pakaianku, mengacak-acaknya. Entah apa yang ia cari.

"Kakakku yang bodoh, jangan diacak-acak bisa tidak?" Ujarku manis menahan kedutan urat-urat yang ingin meledak.

"Diamlah. Aku sedang membantumu." Balasnya tanpa tahu diri dan masih memporak-porandakan isi lemariku.

Diriku memilih menggigit bagian dalam mulut daripada mengatainya lebih lanjut, bisa-bisa tak kunjung selesai.

Tak lama kemudian dia memberiku atasan beserta celana yang biasa dipakai saat diriku berlatih dengannya. Kutatap penuh tanda tanya dirinya.

"Pakai itu, lalu ikut aku ke lapangan."

"Kakak ini semakin bodoh atau bagaimana? Aku bilang aku tidak mau."

"Haahh?" Geramnya seraya mengacak-acak rambutku. Kutepis seketika tangan lancangnya.

"Ikut saja. Kita tak hanya berduel, tapi juga bertaruh. Siapapun yang menang bisa meminta apapun pada yang kalah. Seru, bukan?" Dia cengir-cengir dengan mencurigakan.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang