A/N: bacanya pelan-pelan aja guys. Karna chapter 62 bakal ku up minggu ini soalnya msh first draft, belum direvisi. Happy reading! (ˊ˘ˋ*)
⁺˚*・༓☾ ⋇⋆✦⋆⋇ ☽༓・*˚⁺
.Aku memandangi wajah pasih Frederick yang benar-benar seperti orang kehilangan jiwanya. Napasnya tak kunjung terlihat membaik. Kendati begitu dia masih keukeuh menatap diriku dengan matanya yang penuh rasa takut itu.
Aku memalingkan wajahku seraya menghela napas. "Akan kujelaskan nanti. Sebelum itu, tenangkan diri kalian. Aku akan pergi sebentar," balasku pada pertanyaan Frederick sebelumnya.
Frederick pun kedengarannya menghela napas sebagai respon dari ucapanku.
Aku berdiri, berkacak pinggang. Mataku mengedar ke segala arah, memastikan bahwa semuanya terlihat aman. Haemal memandangiku dengan diam, benar-benar menantikan penjelasan dari diriku. Diriku tahu betul dia menahan banyak sekali pertanyaan dalam benaknya, tetapi aku khawatir akan reaksinya nanti sehingga selalu membuatku maju-mundur untuk membeberkannya.
Aku tersenyum tipis ke arahnya, sebagai isyarat bahwa ia harus bersabar sedikit lagi. Balasannya, ia menurunkan tatapannya.
Mau tak mau pun aku harus mewajarkan bagaimana perasaannya saat ini. Untuk manusia biasa seperti dirinya, Ichor bukanlah sekadar monster. Namun, sebuah bencana berskala besar.
Hanya senyuman simpul yang terpatri dalam wajahku saat menanggapi dirinya. Kini, saatnya melakukan pekerjaan sebagai pengurus anak kecil, mencari makan. Aku terdiam di tempat, memikirkan harus dengan apa aku memberinya makan. Sebab monster tingkat tinggi di wilayah ini terbilang jarang.
Kurasa ada beberapa area merah di dekat sini, entah di arah mana.
Semenjak keluar dari Ruangan gelap itu, banyak sekali pertanyaan yang muncul, dan tidak semuanya terjawab begitu saja. Kian bertambah, kian merepotkanku. Mengesalkan.
Rasa-rasanya diriku ingin langsung bertanya pada Roux, akan tetapi melihat kondisinya membuatku sedikit ragu.
"Haemal, berikan aku baju ganti. Bercelana."
Tak bicara apapun dan begitu penuh keheningan dia memberikan baju ganti beberapa saat kemudian. Keheningan yang membuatku tak enak hati karena disebabkan oleh ulahku. Rasanya benar-benar membuat diriku tidak tenang. Meski begitu, diriku tetap membiarkan mereka berkutat dengan pikirannya masing-masing.
Bahkan aku pun perlu sedikit waktu untuk menenangkan diri.
.
Sekejap, diriku telah berganti pakaian. Keluar dari kereta kuda dengan membawa gaun tidurku. Lantas kuberikan gaun itu pada Haemal yang menerimanya dengan bungkam.
Diriku mengikat rambut panjangku dengan tali seadanya. Bercermin menggunakan jendela kereta kuda. Gemerisik dedaunan pohon terdengar begitu kencang di antara keheningan ini. Semuanya hanya terdiam, menonton diriku bersiap untuk pergi.
Aku menolehkan kepala ke kanan-kiri, memastikan tidak ada anak rambut yang tertinggal.
Pandanganku beralih pada Tanith yang sibuk menutupi bekas muntahan Roux dengan tanah. Perlahan-lahan ia mengambil tanah kering di sampingnya, ia taburkan pada bekas muntahan. Begitu terus hingga bekas muntahan itu tertutupi sempurna. Begitu tenang, tak berekspresi, dan terus berkonsentrasi.
Dirinya terlihat sangat serius dan telaten, padahal itu hanya bekas muntahan.
"Tanith." Ksatriaku kontan mendongakkan kepalanya. "pinjamkan aku pedangmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTER
FantasyLibitina Kaltain, karakter fiksi figuran yang berada di novel jadul bertajuk 'Survive In Kaltain' yang kubaca secara kebetulan di perpustakaan umum kota karena memiliki sampul buku yang unik. Libitina adalah putri bungsu dari Kaltain yang terkenal s...