A/N: Bacanya pelan-pelan aja yah, soalnya chapter ini lumayan panjang. Karna kayaknya minggu ini aku bakalan sibuk bgt, jadinya kutumpahin aja di sini. Biar kalian gak nungguin lama lagi. Trus biar gak bingung juga, jadi pelan-pelan aja.
Happy reading!
⁺˚*・༓☾ ⋇⋆✦⋆⋇ ☽༓・*˚⁺
."Kurasa ini cukup." Ujarku seraya mengembalikan pedang ke sarungnya.
Diriku menatapi para jasad troll yang berceceran di segala tempat. Darah yang terpencar ke mana-mana menciptakan aroma tak sedap, mendesak masuk ke indera penciuman. Alih-alih oksigen yang terhirup, malah aroma busuk yang masuk.
Aku menutupi hidungku, menghalangi aroma busuk itu semakin banyak terhirup.
"Kita harus segara pergi sebelum kawanan gnoll mendekat karena bau darahnya, Libitina." Frederick yang berada di belakangku berkata. Ia beberapa langkah di belakang, menjaga kedua kuda supaya tak kabur.
"Hari hendak meredup, kuyakin bawahanmu takkan senang jika kau kembali terlalu larut," pungkasnya.
"Aku tahu itu." Diriku menghela napas lelah.
Berjam-jam diriku berburu bahkan setelah tiga wyvern terkalahkan, anak ini tak puas-puas juga. Jika para troll ini tidak juga cukup, kukembalikan saja dia ke Penciptanya itu. Merepotkan sekali mengurus anak yang tak seperti anak ini.
'Dia' yang tiba-tiba memberikanku makhluk tak jelas ini, aku juga yang harus repot mengurusnya. Setidaknya berikan aku tunjangan anak, Sialan!
Aku berdecak sebal, berusaha menepis kekesalan yang kembali muncul. Entah kenapa akhir-akhir ini aku terlalu sering terpicu emosi. Antara orang-orang sekitarku yang memang hanya sekumpulan orang menjengkelkan atau memang sumbuku saja terlalu pendek.
Aku memejamkan mata dengan kening yang berkerut, pening kepalaku semakin menjadi-jadi karena tidak istirahat sama sekali.
"Ichor. Kau bereskan saja semuanya tanpa tersisa. Aku tidak butuh apapun dari para babi ini." Ujarku seraya berjalan mundur, membiarkan bayangan yang meluas seluas-luasnya.
Tanpa perlu melihat pun diriku dapat mengetahui Ichor yang menikmati makanannya. Suara-suara mengerikan dari betapa beringasnya ia memakan makanannya membuatku dapat membayangkan apa yang dilakukan anak itu.
Memulai dengan kepalanya. Memecahkan tengkorak seperti buah anggur, renyahnya tengkorak yang hancur berkeping-keping itu sedikit membuatku ngilu. Lalu menyayat setengah badannya dengan gigi tajamnya, bak memakan sate.
"Tak perlu kau lihat jika enggan, Frederick." Kataku datar pada Frederick yang terlihat sekali berusaha keras untuk menyaksikan acara makan Ichor.
Padahal ia se-takut itu dengan Ichor, kenapa tak kunjung menjauh saja dia? Seperti terakhir kali. Pada pemburuan wyvern ke-tiga, aku menyadari bahwa ia menjauh bukan karena terkejut, melainkan karena Ichor.
Bahkan saat ini, setelah ia memasang pelindung pun, udara menyesakkan yang dibawa oleh Ichor tetap dapat menakutinya. Sebenarnya bukan Frederick yang penakut, melainkan firasatnya sebagai manusia biasa lah yang berteriak ingin menjauh.
Sama seperti Roux.
Belum sempat kakiku melangkah masuk ke dalam tudung pelindung, kakiku terhenti. Spontan diriku berbalik cepat, mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Menajamkan pandangan, harap-harap menemukan sesuatu.
Aku merasa ada yang memerhatikan kami. Namun, aura keberadaannya terasa aneh bagiku. Ia tiba-tiba saja muncul bak hantu, lantas setelah aku menyadarinya, aura keberadaannya menghilang. Akan tetapi firasatku terus berkata memang ada seseorang di sekitar sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTER
FantasiLibitina Kaltain, karakter fiksi figuran yang berada di novel jadul bertajuk 'Survive In Kaltain' yang kubaca secara kebetulan di perpustakaan umum kota karena memiliki sampul buku yang unik. Libitina adalah putri bungsu dari Kaltain yang terkenal s...