Cordelia duduk bersebelahan dengan anaknya, Sonia. Duduk tegap dengan begitu tegang, tak lupa Sonia yang bahunya nampak bergetar samar sebab ketakutan; terutama Cordelia yang tak kalah kakunya menatapku penuh tekad dicampur dengan ketegangan.
"Tidak perlu tegang begitu. Santai saja," celetukku memecah keheningan yang mengganggu pernapasan.
"Tapi, Nona.. "
"Peraturan pertama, jangan mendebat apapun yang kukatakan. Ingat itu." Aku menyela dengan cepat sebelum Cordelia sempat mengutarakan penolakannya.
Aku tersenyum kemudian. "Aku tidak begitu suka dengan suasana berat, Cordelia. Jika kubilang santai saja, maka lakukan."
Cordelia menunduk dalam, lalu mengangguk pelan. "Ya, Nona."
"Baguslah. Aku tidak akan berbasa-basi lagi, kurasa kalian perlu istirahat," kataku. "Cordelia, kudengar kau lulusan Akademi Bangsawan?"
"Benar, Nona. Saya memang pernah menempuh pendidikan di Akademi bergengsi tersebut. Di masa lalu orangtua saya merupakan Bangsawan bergelar Baron, namun sekarang itu sekadar masa lalu." jawab Cordelia yang masih menunduk.
"Kalau begitu, kau punya cukup keberanian untuk berhadapan dengan banyak orang? Bagaimana dengan kemampuan bernegosiasi-mu?" tanyaku penuh rasa ketertarikan.
Berbeda dengan dugaanku, bukannya percaya diri, dia nampak ragu. "Saya.."
Senyumanku perlahan luntur melihatnya yang bahkan tidak tahu tentang dirinya sendiri.
Sonia yang kurasa melihat perubahan mimik wajahku langsung menyela, "ibu saya begitu hebat menghadapi orang-orang jahat, Nona! Saat saya hampir ditindas seorang pedagang jahat, ibu saya maju dengan berani dan menyelamatkan saya! Ibu saya juga pintar, sangat pintar! Ibu mengajarkan saya membaca dan menulis, terutama berhitung."
Sonia berceloteh dengan cepat sampai aku dan Cordelia sendiri terkejut mendengar suaranya yang berapi-api. Gelak tawa keluar dari mulutku tanpa bisa ditahan. Itu membuat Sonia terkejut dan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, terlihat menggemaskan bagiku.
Ceria sekali. Seingatku ia masih berusia enam tahun.
"Begitu, kah? Apa yang paling suka kau pelajari, Sonia?" tanyaku dengan ceria.
"Saya suka belajar tentang tumbuhan herbal atau alkemis, saya suka sekali! Membuat obat sederhana dari tanaman herbal sangat menyenangkan. Apalagi saat ibu sedang sakit, saya beri ibu obat yang saya buat. Lalu, Bum! Ibu besoknya langsung sehat!" Sonia tertawa senang, tangannya terus bergerak-gerak seperti menari dengan ucapannya sebagai iringan musik.
Gelak tawanya membuat suasana ruangan ini menjadi riang.
Aku bergumam panjang. "Terdengar menyenangkan." Tatapanku beralih pada Cordelia yang tersenyum lembut pada putrinya. "Kau punya anak yang manis, Cordelia."
"Terima kasih, Nona. Sonia memang senang belajar banyak hal. Namun sayang sekali-"
"Pengelihatannya buruk, 'kan?" potongku.
Tatapan mata Cordelia seketika naik menatap diriku yang sedang mengenakan penutup mata. "Bagaimana..?" gumamnya. "Ah, benar, Nona."
Aku memaklumi keterkejutannya padaku yang mengetahui tentang masalah pengelihatan Sonia. Entah dengan alasan apa Cordelia begitu menyembunyikan perkara ini, oleh sebab itu juga Sonia sedari tadi hanya menunduk.
"Sebagai ujian, akan kuberi kau tugas pertama." Tanganku menengadah ke samping, memberi isyarat pada Roux untuk memberikan selembar kertas dan pensil.
Begitu selembar kertas beserta pensilnya tertangkap oleh tanganku, aku mulai menggambar sesuatu. Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh orang-orang seperti Sonia yang mengalami rabun. Kacamata rabun.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTER
FantasiaLibitina Kaltain, karakter fiksi figuran yang berada di novel jadul bertajuk 'Survive In Kaltain' yang kubaca secara kebetulan di perpustakaan umum kota karena memiliki sampul buku yang unik. Libitina adalah putri bungsu dari Kaltain yang terkenal s...