Season 2: CHAPTER 57

1.4K 224 31
                                    

Pria berambut hitam dengan wajah paripurna tanpa kerutan itu tertawa menggelegar. Kala diriku masih memandang curiga dirinya dan belum selesai dengan kecemasan, dia malah dengan lepasnya tertawa.

Tubuhku kaku ketika ia meletakkan kedua tangannya pada pundakku. Ia merendahkan tubuhnya agar sejajar dengan diriku. Nampak tak puas akan posisinya, ia pada akhirnya jongkok di depanku, mendongak hanya untuk menatap diriku.

Aku dengan enggan menurunkan tatapan untuk mendengarnya dengan seksama.

Dia menarik napas sejenak seolah mempersiapkan diri sebelum bicara. "Adikku yang mengetahui bagaimana masa depan bersikeras untuk menikahi bajingan itu dan memiliki anak yang akan merenggut nyawanya. Entah dengan alasan apa adikku tidak merubah takdir bagai neraka itu. Sebagai kakaknya, aku tidak punya pilihan lain selain mengikutinya dengan berat hati."

Pegangannya pada pundakku terasa semakin erat. Dia seolah mencoba menyalurkan perasaannya kepadaku. Perasaan yang mendalam dan kuat bagai samudera. Sayangnya aku menolak mentah-mentah saluran perasaan itu.

"Kenapa tidak hentikan saja dia? Si wanita muda bodoh yang dibutakan oleh cinta," cecarku tanpa tahu takut di depan kakak sang wanita bodoh itu sendiri.

Dia mengernyit. Tertera raut kesedihan dalam wajahnya yang tak menyangka atas apa yang kuucapkan dengan lantangnya. Ia memasang mimik wajah yang sukar kudeskripsikan.

Genggaman tangannya perlahan turun ke siku. Dia menundukkan wajahnya dalam-dalam.

"Aku telah mencobanya, Dea. Aku telah mencobanya." Goyah. Dia telah goyah. Dalam suara yang gemetar itu dia menunjukkan betapa sulitnya keadaannya.

Sang Archduke yang selalu memiliki keyakinan dalam setiap ucapannya itu baru saja membuat suara yang bergetar. Dia goyah hanya dengan perkataan kecil dariku. Aku meneguk saliva begitu ada rasa sakit dalam dadaku di bagian yang tidak kuketahui.

Frederick mendesah pelan. "Tapi apa yang bisa kulakukan? Dia adalah Pengendali sihir Agung, sedangkan aku hanyalah seorang swordmaster biasa saat itu. Aku bahkan belum mendapatkan gelar sebagai swordmaster, Dea."

Mataku membola. Pundakku semakin tegang tak karuan. Manik mata hijau tua bak rerumputan di malam hari itu mengeluarkan sinar kesedihan. Berkaca-kaca mata itu. Kedua manik mata gelap terlihat semakin kelam di kubangan air mata yang hampir jatuh.

Dia memang tidak terisak, tak juga nampak akan menangis kencang. Namun hanya dari mata berkaca-kaca itu aku dapat mendengar teriakan dari dalam hatinya. Begitu gundah gulana dirinya karena ketidakmampuannya dalam menghentikan Marianne.

Dia begitu menyayangi Marianne yang merupakan satu-satunya keluarganya saat itu. Aku mengerti, orang yang sebenarnya sangat hangat ini dikenal sebagai beruang ganas di luaran sana semenjak kaburnya Marianne itu.

Lenganku mulai terasa sakit kala dia semakin mengeratkan genggamannya. Tak kuasa mendongakkan kepala, dia menunduk. Perlahan, seolah kehilangan tenaga sekaligus nyawanya, dia menyundul pelan perutku. Dengan berat — karena tertahan genggaman tangannya — aku memeluk bagian belakang kepalanya.

Aku tidak punya pilihan lain, dia nampak lebih rapuh dariku. Karena dia berkata aku keluarganya setelah mengetahui bahwa aku bukan Libitina, aku merasa perlu memperlakukannya seperti keluarga.

"Di hadapan kekuatannya aku bukanlah apa-apa, Dea."

"Baiklah. Aku mengerti. Jadi berhentilah menangis," lirihku.

Dadaku menjadi sesak seiring pikiran buruk tentang keluarga ini berubah. Segerombolan perasaan bersalah dan tak enak itu memberatkan dadaku, mencekat tenggorokanku untuk bicara.

THE DEMONIC YOUNGEST DAUGHTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang