Chapter 04

2K 47 1
                                    

JDEEERRR!!!

Suara sambaran petir dan derasnya hujan itu membuat suasana semakin mencekam.

Apalagi saat ini mereka tengah berada di meja makan untuk makan malam bersama. Namun ibu panti dan keenam anak asuhnya itu tetap bersikap tenang seolah di luar cuaca sedang baik-baik saja.

“Nyonya Irene.” Yeonjun bersuara memecah keheningan di antara mereka. “Makanan sebanyak ini, Anda yang memasaknya sendiri?”

Irene mengunyah potongan daging itu pelan dan menelannya. “Ya, saya suka memasak. Apalagi memasak daging seperti ini.” ujarnya seraya menatap lurus Yeonjun tanpa berkedip sekalipun. “Ada masalah dengan masakan saya?”

Yeonjun gelagapan dan tentunya merinding ditatap intens seperti itu. “A-ah tidak. Masakan Anda sangat enak, dagingnya sangat empuk dan rasa-rasanya saya baru pertama kali merasakan daging semacam ini. Hehehe.”

Tawa hambarnya terdengar sangat awkward, dan bisa ia lihat kalau Minji yang duduk di hadapanya langsung menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa ia tangkap apa maksudnya.

Sementara Karina juga tak sengaja mendapati Hyein dan Haerin kini nampak samar-samar menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tempo seirama dan kompak.

Bulu kuduknya tiba-tiba meremang hebat. Apa yang sedang dilakukan oleh dua bocah buta itu, pikirnya. Memberikan isyarat kah? Atau ada maksud lain? Namun yang jelas di matanya itu nampak seperti gerakan ritual tertentu. Entahlah? Pikirannya sudah buruk saja sekarang.

“Tapi, Nyonya Irene. Ini porsinya sangat banyak dan Anda hanya sendirian memasaknya. Anda tidak kewalahan?” suara Soobin, otomatis tatapan Irene kini pindah padanya.

“Tidak sama sekali. Saya malah senang melakukannya. Saya senang memasak untuk banyak orang.”

Soobin mengangguk pelan dan kembali fokus dengan piringnya. Yang lain hanya mampu saling lirik, jujur mereka sangat merasa tak nyaman dengan situasi seperti ini.

Namun cuaca di luar, mitos padang ilalang, dan fakta kalau ibu panti telah memasak banyak terpaksa membuat mereka tertahan lebih lama di tempat misterius ini.

“Sebaiknya malam ini kalian harus menginap di sini. Cuaca sedang tak baik, saya sudah menyiapkan kamar untuk kalian tempati.”

Lagi-lagi mereka tidak bisa menolak. Mau memaksa pulang tapi takut mitos padang ilalang itu benar. Ditambah Irene sudah susah payah menyiapkan kamar untuk mereka semua. Tak enak, pikirnya. Jadi ya sudah, mau tak mau mereka terpaksa sekali mengangguk mengiyakan.

“Yeay! Kakak akan menginap.” Hanni berseru ceria di kursinya.

“Habis ini Kakak temani aku main ya?” pinta Danielle antusias sambil terus mengunyah makanannya lahap.

Ningning tersenyum kaku. “T-tentu. Ayo kita bermain malam ini. N-nanti Kakak temani ya.”

Kedua anak itu bertepuk tangan meriah. Lain halnya dengan empat anak lain yang acuh-acuh saja. Hyein dan Haerin kini kembali samar-samar menggeleng-gelengkan kepalanya lagi, dan Karina mulai curiga kalau itu adalah sebuah isyarat.

Tapi isyarat apa, dan ditunjukkan kepada siapa?

JDEEERRR!!!

Petir yang terdengar mengamuk itu seketika membuat aliran listrik padam. Jantung mereka berdegup kencang, gelap sekali di sana.

Taehyun langsung merogoh ponselnya untuk mengaktifkan senter, dan saat itu ia menyadari kalau Minji tidak ada di kursinya.

“Guys, Minji ke mana—”

Grep!

“––AAAAAAAAAAKKKKKHHH!!!”

Taehyun menjerit manly sampai ia terjungkal dari kursi. Suasana mendadak keos tentu saja, dan mereka semua langsung berusaha membantunya bangun kembali.

“Tae, kau kenapa?” tanya Giselle agak panik.

Taehyun masih syok, deru nafasnya pun masih memburu. “A-ada sebuah tangan tiba-tiba muncul dari belakang dan menarik wajahku.” terangnya, ia kembali duduk dan tercengang mendapati Minji sudah kembali ada di kursinya.

“Minji? K-kau?”

“Tadi aku tadi mengambil lilin dan korek, Kak.”

Bocah berambut sepinggang itu menunjukkan kedua benda tersebut di tangannya. Taehyun terdiam, demi apapun juga ia masih merasa janggal.

“Kakak bantu nyalakan lilinnya ya? Kalian semua duduk aja.” Karina beranjak dari kursinya. Ia mengambil lilin-lilin itu dan menyulutnya, lalu meletakkannya di atas meja dengan posisi melingkar.

Yeonjun meringis melihatnya. Situasi ini membuat mereka semua seperti sedang melakukan ritual pemujaan setan atau pemanggilan hantu jadinya.

“Kalian semua makannya sudah selesai kan?”

Keterkejutan belum berakhir. Kini mereka kembali dibuat heran melihat Irene muncul dari lorong dengan sebuah lampu gantung di tangannya.

Bukankah Irene tadi masih duduk di kursinya? Kenapa sekarang tiba-tiba muncul di sana? Kapan beranjaknya dia?

Kurang lebih begitulah pikir mereka.

“Sebaiknya sekarang kalian semua tidur, badai ini pasti akan panjang.”

Enam anak itu menurut dan langsung turun dari kursinya. Refleks, keenam muda-mudi itupun ikut beranjak untuk membantu.

Soobin bahkan menggendong Danielle di punggungnya karena khawatir anak itu akan tersandung mengingat bagaimana kondisi kakinya.

“Nyonya, biar saya bantu membereskan ini semua.” Yeonjun menawarkan diri, Irene pun mengangguk.

“Boleh.”

Karina yang tidak rela meninggalkan lelakinya berduaan bersama wanita misterius ini juga memilih tinggal dan ikut beres-beres. Sementara yang lainnya kini mulai berjalan pelan melewati lorong, dengan Minji dan Hanni berada di barisan paling depan.

“Kamar kalian di sebelah mana?” tanya Giselle yang menuntun Hyein.

“Di... Tsi... Nni...” Bahiyyih menunjuk pintu besar di sebelah kanan kemudian  membukanya.

Kamarnya memang besar, enam anak kecil ini tidur di dalam satu ruangan sepertinya.

Soobin menurunkan Danielle dari gendongannya, dan saat membungkuk ia dibuat tercekat karena bocah itu malah berbisik lirih di telinganya.

“T-tolong...”





















































.

.

.

TBC

Panti Asuhan || AESTXT [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang