Chapter 03

1.9K 45 4
                                    

Seperti di panti-panti sebelumnya, mereka kini mengajak anak-anak di sana untuk bermain. Dan mereka baru tahu kalau dari enam orang anak di sana, empat di antaranya adalah anak berkebutuhan khusus.

Hyein dan Haerin adalah tuna netra, Bahiyyih tuna wicara, sementara Danielle yang menderita kelainan tulang pada kaki kanannya sehingga cara berjalannya nampak tak biasa.

Sedangkan Minji dan Hanni bisa dikatakan lebih beruntung dari keempatnya. Hanya saja perilaku Minji terlihat lebih misterius bila dibandingkan dengan Hanni yang sangat ceria.

“Dek, kalian hanya berenam di sini? Teman-teman kalian yang lainnya ke mana?” Karina mengambil crayon warna hijau, dia ikut mewarnai di buku gambarnya Bahiyyih.

“Udah pada pergi, Kak.” Danielle yang sedang menyusun lego bersama Ningning menjawab singkat.

“Pergi? Pergi ke mana?” Yeonjun penasaran. Maksudnya pergi itu pergi diadopsi atau bagaimana, tapi reaksi Hyein dan Haerin yang malah terkikik justru membuatnya merinding seketika.

“Pergi jauh, Kak.” Hyein meraba crayon berwarna merah lalu menggoreskannya pada gambar bunga mawar dengan pelan. “Iya kan, Haerin?”

“Iya, jauh. Ada yang ke sana, ke sana, ke sana. Hihihi...” sambil cekikikan Haerin menunjuk ke sembarang arah, lalu dia mengambil spidol berwarna biru untuk mewarnai laut.

Soobin dan Giselle saling lirik. Haerin dan Hyein itu buta, tapi insting mereka sangat akurat. Keduanya bahkan tahu tata letak gambarnya ada di mana sekaligus warna apa yang harus digunakan. Gambar yang mereka warnai pun sangat rapih, bahkan lebih rapih dari anak lain yang matanya berfungsi dengan baik.

“Jadi benar kalian hanya berenam di sini? Maksudnya bertujuh bersama ibu panti? Di rumah sebesar dan semegah ini?” tanya Taehyun memastikan, dan anak-anak itu mengangguk membenarkan.

Tatapan keenamnya kini mengedar. Rumah ini sangat luas, bahkan terlalu luas untuk jumlah penghuninya yang hanya tujuh orang. Apalagi di sini banyak terdapat lukisan-lukisan makhluk hidup yang sorot matanya juga seakan ikut hidup.

Menyeramkan.

“Udah kelar semuanya kan? Sebaiknya kita segera pulang.” Ningning berbisik pelan kepada Giselle. “Aku makin gak nyaman, ditambah lagi ini udah sore.”

“Justru karena udah sore sebaiknya Kakak jangan buru-buru pulang.”

Suara anak bernama Hanni itu mengagetkan mereka. Ningning melotot horor. Padahal tadi dia hanya berbisik kepada Giselle, tapi kenapa Hanni bisa mendengarnya? Padahal Hanni sedang anteng bermain ular tangga bersama Soobin, dan posisinya itu agak jauh darinya dan Giselle.

“Hanni benar. Kakak pulangnya besok aja, nunggu matahari bersinar.” timpal Minji dengan lempengnya.

Bahiyyih ikut mengangguk. “Be... Nnal... Kal... Lauh... Tsekka... Lang... Nnan... Ti... Kah... Kah... Tel... Tse... Tsah!” ujarnya dengan tangan yang berusaha menunjukkan bahasa isyarat.

Tapi mereka semua tak paham, dan Minji langsung mengulang ucapan Bahiyyih tadi agar bisa dimengerti semua pihak.

“Hiyyih bilang, ‘benar, kalau sekarang nanti Kakak tersesat’, begitu maksudnya.”

Mereka ber-oh ria. Bahiyyih ternyata masih bisa mengeluarkan suaranya, hanya saja tidak jelas. Keenamnya turut prihatin, kenapa anak-anak kecil yang cantik ini harus memiliki nasib yang kurang beruntung?

Terkadang dunia memanglah tidak adil.

“Tapi itu terserah Kakak, kalau Kakak tetap mau pulang juga gak apa-apa. Hati-hati aja.” Danielle tiba-tiba berujar misterius sembari mencondongkan tubuhnya, lalu ia melanjutkan.

“Tapi biasanya... Orang-orang yang bepergian melewati jalanan penuh ilalang di sana pada saat senjakala atau malam hari, mereka akan hilang dan jejaknya tak pernah ditemukan lagi.”

Deg!

Ucapan Danielle yang terkesan horor dengan wajah tanpa ekspresinya seketika membuat suasana menjadi angker. Apalagi anak-anak yang lain kini ikut memasang ekspresi serupa.

“Kakak di sini aja main dengan kami. Kami kesepian.” Haerin meraih kucing hitam yang tiba-tiba muncul di sana ke dalam pangkuannya. Raut wajah dengan tatapan kosongnya itu kini berubah menjadi raut memohon.

Giselle tertawa hambar. “Kami akan hati-hati, kami harus pulang sekarang. Ayo, Guys!” ia beranjak dari duduknya lalu rusuh menarik teman-temannya untuk ikut bangkit.

Perasaannya tak enak, ia tidak mau lama-lama berada di dalam rumah yang menebarkan hawa-hawa negatif ini. Tapi kata-kata Danielle mengenai jalanan penuh ilalang itu juga mengganggu pikirannya.

Apakah itu hanya mitos? Atau memang fakta?

“Gi, serius kita pulang aja? Gimana kalau ucapan Danielle tadi—”

“Persetan, Rin!” dengan cepat Giselle menyela ucapan Karina. “Itu hanya celotehan yang dilontarkan oleh anak kecil, yang jelas aku nggak mau bermalam di sini!”

Ia langsung meraih kenop pintu depan dengan segera, namun sedetik kemudian keenamnya menegang saat ternyata pintu itu tak bisa dibuka. Terkunci rapat.

Ningning mulai panik. “Oh, shit! Sudah kubilang kalau rumah ini nggak beres!” ia berusaha membuka pintu itu bersama para lelaki, sebelum akhirnya suara dari ibu panti menginterupsi.

“Kalian mau ke mana? Di luar sedang hujan deras. Di sini dulu saja sampai esok hari, saya sudah masak banyak.”




















































.

.

.

TBC

Panti Asuhan || AESTXT [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang