Chapter 13

1.3K 35 0
                                    

“Wint, gak mungkin kita bertamu selarut ini, Wint.”

Di balik kaca mobil yang basah karena derasnya hujan, Winter memicingkan matanya berusaha membaca plang besar yang berada di atas gapura.

“Ternyata bener ini tempatnya, Gyu. Payung mana payung?”

Lelaki itu menghembuskan nafas lelah karena ternyata ia diabaikan. Winter yang kini sudah menemukan payung di dalam laci mobil tanpa berbasa-basi langsung keluar.

“Astaga, wanita itu.” dan mau tak mau Beomgyu pun ikut mengambil payung lain di jok belakang lalu menghampiri Winter yang sudah berdiri di depan gerbang.

“Permisi...”

“Wint, ini jam berapa, Wint? Minimal tahu adab sedikitlah, gak enak tahu!”

Winter menatap Beomgyu jengah. “Kita berdua udah jauh-jauh ke sini terus mau pergi lagi, gitu? Percuma dong? Dari awal juga kan aku udah bilang sama kamu, kalau kamu nggak mau bantu ya udah! Aku bisa sendiri. Tapi kamu ngotot mau ikut.”

“Mana mungkin aku ngebiarin kamu pergi sendiri, Wint? Aku khawatir sama kamu! Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?”

“Tapi aku juga khawatir sama teman-teman kita, Gyu. Perasaan aku bener-bener gak karuan, dan aku gak bisa kalau harus nunggu sampai esok. Nggak bisa!”

Winter tetap lanjut memencet bel sambil sesekali berteriak, berharap ada seseorang di dalam sana yang keluar menyambutnya.

Sejujurnya Beomgyu juga merasakan hal yang sama. Beberapa kali ia menepis pikiran buruknya, tapi tetap saja semua itu kembali hinggap di kepalanya. Hati kecilnya berkata kalau ia dan Winter harus menemukan mereka semua sebelum esok hari tiba.





























.

.

.

Jennie mondar-mandir gusar di depan pintu kamarnya Eunchae. Ini sudah sangat larut tapi dia masih mendengar gadis kecil itu asyik mengobrol dan sesekali tertawa bahagia.

Yang menjadi masalahnya, Eunchae itu di kamarnya hanya sendirian. Lantas dia sedang mengobrol dengan siapa?

Memberanikan diri, Jennie membuka pintu kamar itu sedikit dan dia langsung melotot horor mendapati ada dua sosok orang tertutupi selimut sedang duduk berhadapan di atas kasur.

“Eunchae?”

Merasa namanya dipanggil, sontak gadis kecil itu langsung menyibak selimutnya. Dan Jennie dibuat menganga karena sosok satunya lagi lenyap. Hanya ada Eunchae di sana.

“I-ini sudah malam, Sayang. Kenapa belum tidur? K-kau sedang berbicara dengan siapa, hmm?”

“Hueningkai.”

Demi apapun juga Jennie merinding sekujur badan. Ia langsung mendekat lalu mengusap wajah gadis kecil itu.

“Nak, dengarkan Ibu. T-tidak ada siapa-siapa di sini, oke? Hueningkai itu sudah tidak ada. Sekarang kau tidur ya?”

“Hueningkai ada, Bu. Dia bahkan masih duduk di depanku, itu.” jawabnya semakin horor seraya menunjuk tempat yang jelas-jelas kosong. “Dia sedang menunggu adiknya bebas. Kasihan, Bu. Dia kesepian, makanya aku temani dia mengobrol.”

“Permisi...”

Percakapan horor itu terinterupsi oleh suara bel diiringi teriakan seseorang yang terdengar samar-samar.

Jennie langsung mengeceknya, dan di depan gerbang sana terlihat ada dua orang muda-mudi dengan lampu mobilnya yang masih dibiarkan menyorot terang.

Tanpa berpikir macam-macam, Jennie pun mengambil payung dan menghampirinya keluar. “Maaf, kalian siapa?” tanyanya.

“Malam, Nyonya. Perkenalkan, nama saya Winter dan ini Beomgyu. Kami berdua adalah mahasiswa dari perguruan tinggi swasta yang tadi siang sempat melakukan bakti sosial di panti ini. Ada hal yang perlu kami tanyakan, Nyonya. Penting.”

Sepertinya kedua orang ini tidak mencurigakan, dan oleh sebab itu Jennie mengajaknya masuk ke dalam. Tidak enak juga mengobrol terhalang oleh gerbang di bawah guyuran hujan.

“Jadi, ada keperluan apa kalian datang ke sini? Ada yang bisa saya bantu?” mulai Jennie setelah mereka semua duduk di ruang tamu.

Winter to the point saja. “Sebelumnya maaf jika kedatangan kami berdua sangat tak tahu waktu dan mengganggu istirahat Anda. Kami hanya ingin bertanya apakah Anda tahu ke mana perginya enam teman kami setelah selesai bakti sosial di panti ini?”

“Maaf, maksudnya?”

“Mereka belum kembali sampai sekarang, Nyonya. Kami kehilangan kontak dengan semuanya.” jawab Beomgyu. “Dan jadwal terakhir mereka berenam dari kegiatan bakti sosial tersebut adalah di panti ini.” imbuhnya.

“Mereka pergi ke ujung sana!”

Ketiganya terperanjat mendengar celetukan Eunchae yang entah sejak kapan sudah berdiri tak jauh dari posisi mereka. Telunjuk gadis kecil itu mengarah pada satu titik, namun tatapannya sangat kosong.

“Hueningkai bilang... Tengkoraknya... Harus... Dikubur... Sebelum... Fajar...”



























.

.

.

Setelah menemukan cara untuk menurunkan karung misterius itu, sekarang mereka dilema harus membukanya atau tidak.

“Kalau gak mau dibuka buat apa coba tadi diturunkan?” Soobin jadi gregetan. Dia ingin tahu isinya tapi tidak berani mengulurkan tangannya.

Karina menggeleng. “Aku gak siap melihat isinya. Firasatku buruk, sumpah!”

Yeonjun langsung menarik kembali tangannya yang sudah terulur. “Sayangku, jangan menakutiku dong!” protesnya masih dalam mode cringe, padahal tadi keberaniannya sudah menggunung.

“Maaf, Cinta.” dan Karina pun membalas tak kalah cringe. “Ya udah, ayo lanjut.”

“Nggak ah, aku berubah pikiran. Jangan aku deh, Yang.”

Giselle memutar bola matanya malas. Hidup sedang capek-capeknya dan sekarang malah harus dihadapkan pada pasangan yang sedang alay-alaynya.

“Ck! Kalian lama!” memberanikan diri, akhirnya dia membuka tali tambang itu dengan tangan gemetar hebat.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAKKK!”

Dan jeritan mereka kembali menggelegar saat isian karung itu sudah sepenuhnya terpampang. Bagaimana tidak? Ternyata pikiran buruk mereka benar-benar terbukti, isinya adalah kerangka manusia.

“Hiks... Itu Haerin.” Ningning tiba-tiba menangis kalap karena terlalu syok. “Tulang belulangnya masih agak kecil. Itu bukan milik orang dewasa. Itu Haerin! Yang mati tergantung itu Haerin!” ujarnya tak karuan diiringi tangisannya yang semakin kencang.

Taehyun langsung mendekapnya, menyembunyikan wajah itu di ceruk lehernya. Karina yang mulai terisak kecil sudah jelas memiliki bahu Yeonjun untuk bersandar.

Melihat dua pasangan itu, Soobin jadi ingin ikut-ikutan merangkul Giselle. Tapi yang ia lihat Giselle malah blank memandangi kerangka itu, tidak ada tanda-tanda mau menangis sama sekali.

Kasihan.

“Gi, k-kau baik-baik aja?” ujung-ujungnya malah kalimat gagap itu yang keluar dari mulutnya.

Giselle menggeleng kaku dan balas menatap Soobin dengan mata berkaca-kaca. “M-mereka bukan manusia... Mereka sudah mati, Bin. Hiks... Mereka sudah mati...”

Soobin yang punya kesempatan kini semakin merapat, dan mulai meniru aksi Taehyun terhadap Ningning tadi. Bahkan dia selangkah lebih maju karena ditambah aksi mengusap lelehan air matanya Giselle dengan lembut.

Akhirnya.


























.

.

.

TBC

Panti Asuhan || AESTXT [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang