••••Senyum masih merekah di wajah tampan rupawan milik Jonathan ketika kakinya melangkah masuk pada bangunan besar dan dingin dengan nuansa eropa itu. Tempat yang enggan ia sebut sebagai rumah, karena tidak ada apapun di dalamnya selain ketidak harmonisan.
Hari ini hatinya cukup hangat, ia tidak mau merusak kesenangan kecil yang ia dapatkan.
Pada ambang pintu masuk yang terbuka lebar, Jonathan sempat berhenti melangkah ketika matanya tidak sengaja melihat tetesan darah berceceran hingga kedalam rumah.
“Lagi?” Monolognya sambil menghela nafas lemas. Senyum di wajah tampan itu langsung melemah, tergantikan oleh raut datar dan tatapan dingin.
Andai ada tempat lain yang dapat ia datangi untuk istirahatkan lelah, Jonathan bersumpah pada dirinya sendiri tidak akan pernah kembali ke tempat ini. Keluarga yang di elu-elukan karena kekayaan dan keharmonisan dari luar—nyatanya tidak seindah yang orang kira.
Langkahnya terasa berat untuk dilanjutkan masuk kedalam, baginya tempat dingin ini hanya tempat untuk tidur. Selebihnya ia benci lahir, dan besar di keluarga yang berantakan ini.
Semuanya sudah hancur, harapan, kehangatan dan kasih sayang itu telah padam bersama dengan jiwa ibunya yang pergi lima tahun lalu.
Di ruang tengah yang besar dan temaram, Jonathan melihat seseorang tengah terduduk di lantai, sedang mengobati luka sobek yang Jonathan duga didapatkan dari sayatan benda tajam. Seorang pemuda yang lebih muda setahun darinya—hal yang buat Jonathan berhenti sejenak dan memandang rendah kearah pemuda itu.
“Tawuran lagi?” Jonathan bertanya dengan nada yang begitu dingin.
Pemuda itu melirik sekilas, kemudian berdecih. Kembali berfokus mengobati luka sayatan panjang di lengan dan lehernya. Luka itu cukup dalam, dan Jonathan yakin itu adalah sumber bercak darah dari pintu depan.
“Bukan urusan lo,”
“Kalo bokap tau lo tawuran lagi, gue gak mau tutupi apapun. Gue tontonin lo di gebukin sampe mati, Giri.”
Hagiri Mandala, saudara tiri Jonathan yang setahun lebih muda darinya. Mereka tidak pernah akur walaupun ayah Jonathan, dan Ibu Giri sudah lima tahun menikah. Mereka semakin jarang mendapat perhatian, orang tua mereka terutama ayah Jonathan jadi sangat kasar dan suka main tangan pada dua anaknya jika diantara mereka membuat masalah.
Giri adalah remaja nakal yang melampiaskan segala duka dan dendam atas kehancuran keluarga lamanya lewat kenakalan, dan Jonathan adalah remaja yang menjadi semakin diam, dan menyimpan semuanya dalam kesendirian semenjak ibunya meninggal dan ayahnya yang suka main wanita sana-sini.
Mereka dipertemukan dalam rasa hancur yang sama, namun pelampiasan yang berbeda.
“Biarin aja dia tau, gue emang mau mati kok. Kalau bisa bunuh aja sekarang, biar gue bahagia.” Jawab Giri seenaknya.
Jemari Jonathan mengepal erat, hendak sekali dia menghajar pemuda tidak tau diuntung yang selalu mempermainkan kematian itu. Jonathan tidak membenci Giri, hanya saja dia tidak suka cara saudara tirinya itu melampiaskan emosi.
“Di kasih hidup gak bersyukur, pantes aja bokap kandung lo gak suka punya anak kaya lo!”
Giri yang mendengar itu jelas terpancing. “Biarin, yang penting bokap kandung gue masih hidup. Gak kayak nyokap lo, jadi umbi-umbian.”
“Mati aja lo, Giri!”
Cukup. Jonathan tidak ingin merusak hari indahnya. Ia segera bergegas menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Menutup diri, mengunci pintu, membiarkan segala usik di kepalanya reda dalam kesunyian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Jo - Jeongvin
FanfictionSetelah memendam rasa selama setahun pada kakak kelasnya, Geovan akhirnya berani untuk mengambil langkah mendekati sang pujaan hati. Sayangnya, tak semudah yang Geovan banyangkan. Keberadaan Jonathan mantan pacar sang pujaan hati, membuat tekad Geo...