21. Mari hidup lebih lama

147 20 0
                                    


"Mari bertahan sedikit lebih lama, setidaknya kami sekarang tidak sendirian."
~ Dear Jo

••••


Jika orang bertanya tentang ‘seberapa kejam dunia mengubah mu?’ maka Jonathan akan kehilangan kata-kata untuk sekedar menjawab. Sudah terlalu banyak ia berubah akibat terpaan dunia, akibat rasa sakit dan rasa kesendirian tidak berkesudahan.

Sosok ceria serta murah senyum, sosok yang akan membantu siapapun yang memerlukan bantuan. Sosok hangat yang terganti oleh Jonathan yang acuh dan tidak tersentuh, Jonathan yang banyak diam dan memendam. Semua berubah saat mata tajam itu menatap mama yang terbujur kaku tanpa nyawa. Sosok hangat yang rapuh, hancur berkeping ketika bumi menelan wanita terkasihnya selamanya.

Beberapa tahun berlalu, hati yang lama beku dan senyum yang sudah lama hilang perlahan mulai pulih. Hari mulai terang meski luka tak akan pernah hilang, setidaknya kini ada harapan untuknya tetap berdiri tegak dan menelan pahit kehidupan. Meskipun dalam lubuk hatinya, ia tetap takut kehilangan. 

“Jo?”

Hari sudah malam, Geovan sudah pulang beberapa waktu lalu setelah memastikannya makan dan membersihkan diri. Tak lama setelah itu, dokter memberi kabar bahwa kondisi sang saudara tiri mulai membaik sehingga dapat dipindahkan dari ICU menuju kamar rawat biasa.

Lama berkawan dengan hening, tiba-tiba suara parau yang begitu lemah memanggil namanya. Terdengar lemah, dan tidak berdaya membuat Jonathan iba. Lelaki dengan iris legam itu lantas menoleh ke arah brankar, dimana si pemilik suara terbaring lemas di sana.

Hmm, butuh sesuatu?” Jonathan hampiri Hagiri, dengan wajah tajam dan ekspresi datar khas miliknya.

Canggung terasa begitu mendominasi, mereka belum pernah berdua dalam ruangan sunyi seperti ini. Ada luka yang sama dalam tatapan dua anak lelaki itu, namun masih enggan untuk ditumpahkan lewat kata-kata.

Hagiri nampak tidak menjawab, mata kucing yang biasanya begitu nyalang kini nampak tidak berdaya. Wajahnya pucat pasi, akibat kekurangan darah. Iris itu perlahan melelehkan air mata, manatap Jonathan dengan sendu.

“Kenapa……kenapa gue ditolongin?”

Pertanyaan itu membuat Jonathan mengepalkan tangannya erat, amarahnya seolah disulut begitu saja.

“Harusnya biarin gue mati, Jo.”

“Apa dengan cara bodoh dan nyoba bunuh diri, semua masalah lo bakal selesai Hagiri?” Nafas Jonathan beradu, dadanya bergemuruh tidak menentu. “Kenapa pikiran lo sesempit itu anjing?”

Sudah beberapa tahun Jonathan hidup dengan Hagiri, sudah beberapa tahun mereka menjadi saudara tiri—meski tak pernah diakui. Untuk pertama kalinya hari ini, Jonathan melihat Hagiri menangis. Begitu keras dan lepas, terisak begitu pilu dengan kondisi yang memprihatinkan.

“Terus gue harus apa, Jo?” Hagiri menatap Jonathan. “Gak ada yang mengharapkan gue tetap hidup. Lo lihat, bahkan di saat sekarang gak ada yang peduli sama kondisi gue!”

Kedua orang tuanya masih utuh, tapi dirinya tidak tersentuh. Ayah Hagiri sudah menikah lagi, dan tidak pernah peduli. Ibu Hagiri pula tak pernah untuk sekedar datang dan bertanya bagaimana keadaannya hari ini. Hagiri ada tapi tidak ada, hidup tapi tidak nyata dimana mereka.

“Mereka semua sibuk dengan urusan masing-masing, mereka semua gak peduli kondisi gue, mereka gak pernah mengharapkan gue hidup di dunia ini! Mereka semua nyesel punya anak kaya gue, Jonathan! Mereka cuma mau gue mati, supaya aib mereka hilang!”

Dear Jo - JeongvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang