20. Our hopes

160 22 4
                                    

•••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••••

Malam kali ini terasa jauh lebih panjang bagi Geovan. Entah karena memang kepalanya yang sedang banyak pikiran, atau dunia yang seolah paham kegundahan hati Geovan, sehingga memperlambat detik berjalan agar Geovan dapat menikmati lebih banyak waktu untuk tenggelam dalam kesunyian.

Gelapnya kamar yang sunyi, hanya ditemani suara detik yang terlewati dari jam digital di sebelah kasur. Geovan tenggelam dalam isi pikirannya sendiri, membiarkan dirinya tetap terjaga meski kini sudah berganti hari. Sedikitpun ia tidak dapat terlelap meski sudah memaksa untuk terpejam, alam mimpi tak kunjung menjemputnya.

Lelaki itu membalik badan menjadi berbaring menyamping, menghadap langsung pada jendela besar yang tirainya dibiarkan tetap terbuka. Mata bulat dengan netra kecoklatan itu mengamati langit dini hari yang begitu gelap, tidak memperhatikan bintang-bintang bersinar gemerlap seperti malam-malam sebelumnya.

Tidak ada bulan, tidak ada bintang bertaburan, seolah langit mengerti bahwa Geovan menginginkan kesunyian menemaninya untuk malam ini. Sunyi, sendiri, dan sepi. Membiarkan dirinya larut dalam kerunyaman isi kepala sendiri.

Geovan menghela napasnya berat, gusar terlalu mendominasi hati. Kepalanya memutar tepat pada kejadian beberapa jam yang lalu, ketika secara tidak terduga Raskal menyampaikan semua perasaan yang selama ini lelaki itu simpan dengan rapat. Rasanya lucu, sekaligus menyakitkan. Setelah semua yang mereka lalui ia jadi merasa bersalah, atas apa yang selama ini Raskal pendam.

“Maaf, Kal.” Lirihnya.

Kepalanya terlalu berat untuk memproses semua yang terjadi hari ini, satu sisi ada percikan bahagia karena akhirnya dirinya dan Jonathan memiliki hubungan yang pasti. Namun satu sisi, Geovan merasa bersalah sekaligus pedih saat mengetahui sang sahabat menahan luka hebat akibat perasaan yang tidak kunjung terbalas.

Tidak ada yang bisa Geovan ucapkan selain maaf, semua telah terjadi. Mau memperbaiki sudah terlambat, mau mengulang kembali terasa menentang hakikat. Semua itu pada akhirnya hanya menjadi keributan di kepala Geovan, riuh dan penuh oleh berbagai ‘andai’ yang tidak akan pernah kejadian.

Andai Geovan tahu lebih awal, andai Geovan peka lebih cepat, andai Raskal lebih vokal tentang perasaannya. Andai, andai situasinya tidak sulit seperti sekarang.

Geovan mengusap wajahnya kasar, bangkit dari kasur lalu berjalan ke arah jendela besar yang menghadap keluar. Menatap pada gelapnya langit, kelam seolah menenggelamkannya dalam kebimbangan.

“Gue harus apa sekarang..” lirihnya penuh kebingungan.

Melihat bagaimana Raskal menghindarinya selama beberapa hari, melihat binar di netra tajam Raskal yang mulai pudar ketika bicara dengannya, juga melihat bagaimana sesuatu seperti kosong dari lelaki itu. Geovan menjadi merasa bersalah, bersalah karena telah menyakiti Raskal terlalu jauh dengan tak pernah meliriknya sama sekali.

Dear Jo - JeongvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang