17. Cigarettes before kiss me

243 26 3
                                    

•••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••••

Memang benar, musibah dan hari sial tidak tertulis bahkan tidak dapat diprediksi. Mereka awalnya sempat selamat, tapi kini sudah tidak ada harapan lagi. Pintu besi berkarat dengan decitan nyaring itu kini sudah tertutup rapat akibat angin meniupnya kuat. Harapannya semoga ada seseorang yang datang tanpa sengaja dan mau membukakan pintu agar mereka bisa keluar.

Totalnya sudah tiga puluh menit mereka terjebak disini, jam pelajaran dapat dipastikan sudah dimulai sejak sepuluh menit tadi. Geovan mendengus resah, Raskal dan guru dikelas pasti sedang kebingungan mencarinya dan namanya dapat dipastikan akan dicoret tidak hadir dengan keterangan bolos setelah ini.

“Ini keluarnya gimana, Kak?” Tanya Geovan khawatir. Tidak ada tanda-tanda kalau ada yang berniat menyelamatkan mereka dari sini, bahkan Jonathan juga nampak cukup santai buatnya bingung sendiri.

“Bawa handphone gak, Ge?”

Geovan menggeleng. “Nggak. Kakak bawa gak?” Jonathan menggeleng membuat yang lebih muda menghela napas berat. Sialan, entah sampai kapan mereka akan terjebak disini.

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah, bagaimana caranya mereka keluar?

Geovan tetap mencoba mengotak-atik pintu besi penuh karat itu, harap-harap ada secercah keajaiban pintu ini dapat terbuka. Mata bulatnya sekilas melirik kearah lelaki yang lebih tua, sekilas ia melihat Jonathan kembali duduk dengan santai di kursi kayu panjang seperti tidak ada beban.

Kerutan jelas muncul di dahi Geovan, bagaimana bisa kakak kelasnya itu nampak santai di situasi mengkhawatirkan seperti sekarang. “Kak, Kok malah duduk!” Tegurnya pada Jonathan, “Ini kita keluarnya gimana?”

“Gak ada cara lain, harus nunggu Pak Iman keliling dulu. Nanti minta tolong dia buat bukain.” Jawab Jonathan santai, sambil merogoh sesuatu dari kantong seragam abu-abunya.

Pak Iman merupakan satpam sekolah, tugasnya berputar-putar setiap sudut sebelum mengunci ruangan satu persatu setelah memastikan sekolah ini aman saat semua penghuninya pulang. Tapi dibenak Geovan ada satu pertanyaan, “Memang Pak Iman kelilingnya sampai rooftop sini?”

Jonathan mengangguk. “Iya, tapi sore, pas semua udah pulang. Mungkin malam juga, sebelum Bapaknya pulang.”

“Kok lo tahu?”

“Dulu pernah kejadian kaya gini juga, akhirnya ditolong Pak Iman.”

Harusnya Geovan lega, harusnya, tapi memikirkan bagaimana dia akan mendapatkan absen bolos dan menunggu di rooftop ini sampai sore membuatnya gelisah. Pikirannya sudah berjalan kemana-mana, tentang bagaimana kalau pak iman tidak datang? Sampai kapan mereka terjebak? Atau seberapa mengerikannya tempat ini kalau mereka harus terjebak sampai malam? Sungguh Geovan dibuat tidak tenang.

Berbeda dengan Jonathan yang terlihat lebih tenang, bahkan kini lelaki itu mengeluarkan sekotak rokok dan pemantik dari kantong seragamnya. Mengapit sebatang nikotin itu dibibir, sebelum membakarnya dengan pemantik. Setiap pergerakan itu tidak terlepas dari pandangan Geovan, yang sejak tadi membeku melihat bagaimana tampannya lelaki itu sekarang.

Dear Jo - JeongvinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang