•••••
Terkadang Jonathan berandai-andai, jika ia diberi kesempatan untuk melihat senyum dan merasakan pelukan hangat mama. Setidaknya sekali lagi, untuk menebus semua rindu yang tertampung bertahun-tahun lamanya. Namun semua itu terasa mustahil, karena yang tersisa dari kepergian mama hanya kekosongan dan kerinduan yang tidak akan pernah terbalaskan.
Sosok Mama telah lenyap dalam keabadian, membaur dengan unsur alam yang suci tanpa sentuhan duniawi. Mama sudah tiada. Sebenarnya cukup sulit untuk Jonathan bisa menerima kenyataan pahit itu bahkan hingga saat ini, tidak pernah ada ikhlas dalam hatinya, tidak ada tabah dalam benaknya. Dalam kosongnya hati yang tersisa hanya kerinduan, dan penyesalan tidak berkesudahan.
“Mama, Jonathan datang bawa bunga buat Mama.” Kaki jenjang itu bersimpuh di sebelah pusara sang mama yang terlihat kumuh, wajah tegas itu terlihat begitu sendu.
Jika diperhatikan kuburan mama terlihat begitu berbeda dengan jajaran di sebelahnya, hanya kuburan mama yang kumuh dan tidak terawat. Rumput liar tumbuh bebas, nisan yang tulisannya hampir tertutupi lumut. Hal yang menyayat hati, karena makam mama seperti ditinggalkan.
Alasannya karena kepergian mama saat itu sangat mendadak, tidak ada yang percaya kalau wanita sebaik dan tulus itu memilih mengakhiri hidupnya. Semuanya seolah mimpi buruk, luka yang ditinggalkan begitu membekas. Sanak keluarga, saudara, bahkan teman dekat mama tidak lagi mau mengunjungi tempat ini setelah jasad mama benar-benar dikebumikan. Terlalu menyakitkan, untuk sekedar berziarah.
Jonathan pun merasakan hal yang sama, baginya berkunjung ke makam mama seperti menusuk diri sendiri dengan belati tak kasat mata. Membuka kembali luka lebar, yang tidak akan pernah sembuh sampai kapanpun. Ia dan sang ayah pun semenjak hari pemakaman, tidak pernah mengunjungi tempat ini lagi—bukan untuk melupakan, mereka hanya tidak ikhlas dan masih bergelut dengan keyakinan bahwa mama belum benar-benar tiada.
“Maaf, Jo baru datang lagi setelah sekian lama.” Pandangan Jonathan memburan, lelaki dengan rambut hitam itu menghela nafasnya perlahan. Rasanya tangis benar-benar ingin tumpah, jika saja tidak ia tahan.
Rasa sakit itu masih sama, pedih yang menikam dada tidak ada bedanya. Melihat nama mama di batu nisan, membuat dunia Jonathan hancur untuk kesekian kalinya. Tangan lelaki itu mengepal kuat, bahunya bergetar hebat menahan kalut. Trauma yang ia alami begitu nyata, namun hari ini Jonathan akan coba melawannya.
Tangan lelaki itu bergetar, sekuat tenaga mencoba meraih nisan yang berdiri tegak. Begitu Jonathan membelai nisan sang Mama, rasanya ia merasakan kehangatan wanita itu disana. Bagai kaset rusak, memori tentang wanita terkasih itu kembali berputar di kepala. Air mata kini mengalir tanpa diminta, bersama isak tangis yang tidak lagi bisa ditahan.
Sudah cukup Jonathan menutupi kesedihannya, sudah cukup Jonathan mencoba tegar dan acuh pada kehidupan setelah mama tiada. Ia hanya anak yang butuh pelukan, remaja rapuh dengan kerinduan akan kehangatan keluarga yang telah lama hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Jo - Jeongvin
FanfictionSetelah memendam rasa selama setahun pada kakak kelasnya, Geovan akhirnya berani untuk mengambil langkah mendekati sang pujaan hati. Sayangnya, tak semudah yang Geovan banyangkan. Keberadaan Jonathan mantan pacar sang pujaan hati, membuat tekad Geo...