Bab 20: Eskrim

107 40 36
                                    

___

"Ish! Kenapa si kudil makin hari, makin aneh." Bintang menatap kesal sepeda listrik nya yang tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Bintang sudah coba di goes pun tetap tidak bisa. Untung, jalan dekat sekolahnya itu sudah cukup lenggang di pagi ini. Ada beberapa murid sekolah yang juga melintas melewatinya. Bintang segera turun dan mendorong sepedanya ke tepi jalan.

"Kenapa kamu mati di tengah jalan kaya gini sih, Dil!" gerutu Bintang, menendang pelan sepeda listrik nya meluapkan emosi.

Bintang melirik jam yang melingkar di tangannya. Terpaksa, ia harus mendorong si kudil lagi menuju sekolah. Nasib orang cantik begini amat.

Tin!Tin!

Bintang mengayunkan tangannya agar pemotor itu pergi duluan saja, tanpa menoleh ke belakang dan terus mendorong sepeda nya.

Tin!Tin!

Akhirnya, Bintang menghentikan langkahnya dan menoleh. Sempat akan mengeluarkan suara nyaring dengan penuh nada kesal. Namun, urung ketika melihat siapa pengendara motor itu.

"Itu, sepedanya kenapa?"

"Eh? Sepeda nya mati, Gas."

Iya, cowok itu adalah Bagas Syahputra, ketua kelasnya. Cowo tampan dengan kacamata nya. Namun, tak lebih tampan dari Langit.

Tumben, cowok itu belum sampai di sekolah. Padahal, saat Bintang melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Biasanya, cowok itu jam setengah tujuh pagi juga sudah ada di kelas.

Bagas turun dari motornya, dan menghampiri Bintang. Cowok itu berjongkok di sebelah kanan sepeda listrik Bintang.

Setelah mengecek sepeda listrik milik gadis itu, Bagas menemukan masalahnya.

"Ini, mesin nya kurang stabil. Lebih tepatnya, Dynamo nya sedikit bermasalah."

Mendengar penuturan Bagas. Bintang hanya mengerjapkan mata tak paham. Apakah cowok pintar selalu begini. Berbicara sesuatu yang sulit dimengerti. Atau, ialah yang terlalu bodoh untuk mencerna ucapan Bagas.

"Aya ... gak paham, Gas." Bintang nyengir sambil tertawa kecil. "Tapi, si kudil bisa bener lagi kan?"

"Si kudil?" Bintang mengangguk sambil tersenyum. "Ah .. ini-em .. si kudil bisa bener lagi kok," ucap Bagas.

Bintang tersenyum penuh kelegaan menatap sepeda listrik nya. Sepeda ini adalah hadiah ulang tahun ke 15 tahun dirinya dari sang Ayah. Sayang jika harus rusak dalam jangka waktu dekat.

"Di depan sana ada bengkel, Lo bisa simpen dulu sepeda Lo disana. Terus ke sekolah bareng gue," saran Bagas yang menunjuk pada sebuah bengkel di depan sana.

"Memangnya, Aya boleh ikut Bagas?"

Bagas mengangguk. Lalu cowok itu kembali ke motor nya, melepaskan helm dan ikut mendorong motornya di belakang Bintang.

"Bagas motornya bermasalah juga?" tanya Bintang saat menyadari Bagas yang juga mendorong motor besarnya.

Bagas mencerna ucapan Bintang. Ah, gadis itu mungkin bingung kenapa dirinya ikut mendorong motornya.

"Engga," ucap Bagas. Akhirnya, Bintang mendorong sepeda listrik nya yang bahkan tak bisa di goes itu. Di ikuti Bagas di belakang yang juga mendorong motor besarnya. Entah apa tujuan cowok itu. Bintang hanya fokus saja pada sepeda nya.

"Nah, sampai." Bagas memarkirkan motornya dan menghampiri tukang bengkel yang tengah sibuk.

"Eh, udah sampai? Cepet banget," gumam Bintang. Kemudian menatap Bagas yang ternyata tengah mengobrol dengan tukang bengkel di depannya.

Rhythm Of Violin [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang