Chapter 2

1.3K 86 18
                                    

Suara burung malam terdengar riuh di luar sana, angin berhembus kencang meniup tirai-tirai putih yang membuatnya menari indah, sepertinya hujan akan segera turun.

"anjing! Wangi banget cok! Gila dah nih si kontol satu kok bisa punya bau badan wangi gini."

Di sebuah kamar dengan pencahayaan minim terlihat seorang pemuda tengah berbaring di atas tempat tidurnya, pemuda kurus itu tengah menciumi sebuah kemeja bermotif kotak-kotak bewarna hijau, menutupi seluruh wajahnya dengan kemeja tersebut.

"Ini mah mending gak usah dibalikin, gak usah dicuci aja kali ya sekalian, jarang-jarang dapat kemeja cogan, mana wangi lagi." Terus ia menghidu aroma tubuh si pemilik kemeja tersebut, entah mengapa ia merasa bahagia dengan hal sesederhana itu.

"Mimpi basah, eh ... mimpi indah gue malam ini." Ujarnya lalu menutup matanya dengan memeluk kemeja tersebut.

Hujan di luar sana mulai turun, suaranya nyaring menghantam atap rumah, hawa dingin mulai terasa, menutup malam itu dengan rahmat dari Sang Maha Kuasa, membawa orang-orang pada tidur pulasnya.

Namun, derasnya hujan serta gemuruh langit di luar sana tidak membuat seorang pemuda lainnya tertidur, dirinya malah terjaga di atas sebuah kain yang ia bentang seukuran tubuhnya, aroma wangi begitu terasa di kamar tersebut, pakaian rapi bewarna putih dengan berbalutkan sarung bewarna hitam melilit pinggang yang menutupi hingga hampir sebatas mata kakinya, di kepalanya sebuah mahkota bewarna hitam bertahta di sana yang membuat dirinya terlihat begitu tampan, tangan kurus dengan urat yang menonjol itu mengadah ke atas sembari bibir tebalnya melantunkan permohonan pada Sang pencipta.

~ ~ ~ ~ ~

Brak!

Prang!

Suara ribut terdengar dari sebuah rumah bertingkat yang bisa dikatakan mewah tersebut, terlihat dua orang paru baya di sana, berdebat dengan suara serta tangan yang melempar berbagai macam benda yang ada di depannya.

Suara teriakan serta barang pecah itu terdengar hampir ke seluruh rumah, bahkan suara itu terdengar jelas di telinga seorang pemuda yang kini terlihat tengah terduduk di lantai, tubuhnya bergetar dengan memeluk kedua lututnya yang ditekuk ke depan. Onix bewarna hitam itu bercahaya sebab air mata yang keluar dari sana, menganak sungai di pipi berisi itu, jatuh kian deras bersamaan dengan suara dari luar sana yang kian keras terdengar, isakan tangis terdengar samar, sebab bibir cherry nan ranum itu tetutup rapat menahan agar tangisnya tidak pecah.

"Hiks ... Udah, gue mohon." Ucapnya lirih.

Dan itu adalah pagi yang untuk kesekian kalinya yang harus dilewati oleh seorang Alviano jika kedua orang tuanya tengah bertengkar.

Matahari kian membumbung tinggi, menyingsing awan kelabu sisa semalam yang masih betah bertahta di udara, cahayanya menyinari tanah basah bekas tangisan sang langit, membawa hawa hangat bersamaan dengan harapan baru bagi tiap orang.

~ ~ ~ ~ ~

Sore itu hujan lagi-lagi turun dengan derasnya, membuat beberapa orang harus bertahan di tempat mereka saat ini, sama halnya seperti seorang pemuda yang saat ini tengah berteduh di sebuah halte yang tidak ramai.

"Hujan aja terus sampai banjir nih bumi." Gerutunya dengan bibir maju beberapa senti, wajahnya cemberut menatap ke derasnya air hujan yang turun itu.

"Lah! Lah! Makin lebat astaga, gimana gue mau balik kalo gini." Kesalnya lagi sebab hujan kian deras turun dari langit.

Suara rem angin dari sebuah bus terdengar dari kejauhan, tak berapa lama sebuah bus berwarna merah berhenti tepat di hadapan halte bus tersebut, beberapa orang yang berada di halte tersebut masuk ke dalam bus itu juga, tak lupa pemuda tadi pun ikut masuk dan duduk di sembarang tempat duduk, dihempaskannya bokongnya ke tempat duduk dengan kasar hingga membuat seseorang yang duduk tepat di sampingnya terkejut, sepertinya orang tersebut tengah tertidur.

"Asu lah!" Ujar pemuda tadi lalu duduk dengan kedua tangan dilipat tepat di depan dada.

"Gak bisa santai ya lu jadi orang?"

Deep voice mengagetkan pemuda tadi, atensinya beralih ke sumber suara yang berasal dari orang lain yang duduk di sampingnya, dan betapa terkejutnya ia saat melihat siapa si pemilik suara tersebut.

"Eh, abang kedai kopi kan?"

"Hem." Sahutnya seadanya lalu kembali ke posisi awalnya, bersandar dengan memalingkan wajahnya ke arah kanan menghadap jendela dan memejamkan matanya.

Alviano, pemuda itu kini menjadi salah tingkah seketika, bagaimana tidak. Jika, saat ini pria yang duduk tepat di samping dirinya adalah pria si pemilik kemeja yang tengah ia kenakan kini.

"Gak usah dibalikin tu kemeja, gue sedekahin aja ke lu." Ujar Mahendra, sepertinya ia sadar jika kemeja yang dikenakan Alviano itu adalah miliknya yang ia pinjamkan kepada Alviano dua hari yang lalu.

"Enggak usah bang, ini gue balikin aja deh habis gue cuci tapi."

"Serah, tapi gue gak mau nerima." Sahut Mahendra dingin.

"Ih! Kok gitu sih bang." Tanpa sadar Alviano merubah suaranya menjadi lembut.

"Diem, gue mau tidur."

Mendengar itu, membuat Alviano diam dan memelih untuk memasang earphone di kedua telinganya dan menikmati musik kesukaannya.

Hujan di luar sana terus turun dengan derasnya, membuat jalanan menjadi macet dan laju kendaraan pun melambat, membuat beberapa orang terlelap karenanya. Sama halnya seperti dua pemuda di dalam sebuah bus, terlihat dua pemuda beda besar itu tertidur dengan si pemuda yang bertubuh lebih mungil itu bersandar pada bahu lebar seorang pemuda yang ada di sampingnya.

"Kok berat?" Suara serak itu muncul bersamaan dengan mata elang yang perlahan terbuka, cahaya menyapa retinanya seketika, membuatnya merasa sedikit pusing karenanya. Tangan dengan jemari panjang itu meraba ke bagian bahu kirinya, terasa sebuah wajah tengah bertumpu di sana, ia pun menoleh dan betapa terkejutnya ia sebab bibirnya tepat menyentuh kening pemuda yang tertidur itu.

"Astaga!" Sontak ia menarik diri dan membuat tubuh itu tumbang ke bawah, bersukurlah ia sigap menangkap tubuh mungil tersebut. Tanpa pikir panjang ia pun membenarkan posisi duduk pemuda tersebut, ditatapnya wajah putih itu, terlihat guratan lelah hadir sana, kepala mungil itu perlahan ia rebahkan kembali ke pundaknya dengan tangan lainnya menahan agar kepala mungil itu tidak berpindah dari pundaknya, entah apa yang ada di pikirannya saat itu, yang pasti ia merasa kasihan pada pemuda yang ia ketahui bernama Alviano itu.

Bus terus melaju di tengah lebatnya hujan, sampai satu per satu penumpang turun dan hanya menyisakan seorang pemuda yang tengah tertidur pulas.

Terpaksa sang sopir bus tersebut membangunkan pemuda tersebut, walau agak bersusah payah namun pemuda itu pun akhirnya bangun jua.

"Eh? Ada apa bang?" Tanya nya dengan kondisi masih setengah sadar.

"Rumah mu dimana?" Tanya sang sopir.

Pemuda itu masih mencoba mengumpulkan kesadarannya sampai ia terloncat yang membuat supir bus pun ikut terkejut.

"Anjir! Rumah gue kelewatan jauh!" Hebohnya lalu bergegas turun dari bus itu dengan membawa tasnya, membuat sopir bus itu kebingungan.

"Astaga! Mana dah malam gini, bangsat emang!" Kesalnya sesaat setelah turun dari bus tersebut.

"Pulang jauh ege, lupa bawa dompet lagi, komplit dah ini sial!"

Dan malam itu pun Alviano terpaksa pulang dengan berjalan kaki, sebab ia terlupa membawa dompetnya hari itu.

OoO

Semoga suka yaw

Pay pay

365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang