Chapter 4

846 60 4
                                    

Brak!

Prang!

Pecahan beling serta barang berserakan di sebuah rumah mewah, tak lupa suara keras dari dua mulut orang tua yang saling beradu kata kasar.

"Lebih baik Kita bercerai!"

Krek!

"Baik! Mulai hari ini kita berpisah! Aku tidak ingin mengurus anak haram mu itu!"

Bagaikan suara petir di siang hari, kata-kata yang baru saja menggema di rumah itu berhasil meluluhlantakkan hati serta jiwa seorang pemuda yang membatu di ambang pintu besar itu, maksud hati hendak melangkah masuk ke rumah tersebut, namun sebuah sembilu terlebih dahulu menikam dadanya.

"Ma... Pa... ." Suara itu bergetar, wajah manis itu mulai basah dengan air mata, onix hitam nan berkilau itu redup seketika tersirat jelas betapa hancurnya ia saat ini, luka tak berdarah itu bagaikan merenggut separuh nyawanya, langit bak runtuh menimpa tubuh mungilnya itu, kaki kurus itu terasa lemas namun ia tetap berusaha kuat untuk sekedar pergi dari sana, walau nyatanya tiap langkah yang ia ambil terasa berat dan perih, bagaikan berjalan di ribuan duri yang terus menusuknya tanpa henti.

Kata-kata tadi terus terngiang di kepalanya, bagaikan sebuah radio yang terus berputar tak henti, sayatan demi sayatsn belati tak kasat mata terus terasa di dadanya, menghancurkan jiwanya secara perlahan.

Grab!

"Eh! Lo kenapa?"

Tubuh kurus itu lunglai namun beruntunglah sepasang tangan dengan sigap menangkap tubuh itu.

"Loh? Alviano, Lo kenapa? Eh... Sadar Al." Suara berat itu begitu jelas terdengar di telinga pemuda bernama Alviano itu sebelum kesadarannya direnggup oleh kelam yang menarik kesadarannya pergi.

~ ~ ~ ~ ~

"Gimana?"

"Ya udah biarin aja dulu dia di sini, lagian kan lo tau kalau nih anak gak srek ama orang tuanya, percuma kalik di bawa ke sono."

"Ya udah deh, Stel lo bisa beliin kita makan gak? Atau lo jagain si Al terus gue yang beli makan buat kita?"

"Lo aja deh Bar, biar gue yang jagain nih kutu satu."

"Ok dah, lo jagain nih bocah dan jangan buka pintu selain gue yang ngetuk, cowok di kost sini pada gila kalo liat cewek cantik"

"Termasuk lo dong."

"Maaf besti, saya homo." Sahut Barra dengan menyatukan kedua telapak tangannya (🙏) sebelum pergi keluar dari kamar kostnya.

Suara burung malam terdengar merdu di luar sana, gugusan bintang terlukis indah di langit sana, sang raja malam pun sudah bertahta di sana dengan indahnya.

Sayup-sayup sebuah suara terdengar keluar dari bibir cherry milik seorang pemuda yang tengah berbaring di atas sebuah kasur kecil, wajah sedikit pucat dengan semu merah di pipinya itu terlihat bergerak seiringan dengan sepasang mata yang terbuka secara perlahan.

Langit-langit putih menyapa netranya, cahaya lampu ikut serta menyapa onix hitam nan berkilau tersebut.

"Gue di gudang ya?"

"Andai lo sehat, dah gue siram lo Al."

"Eh?" Kepala itu bergerak ke arah sumber suara, terlihat seorang pemuda tengah duduk sambil memainkan ponselnya, "ada setannya."

"Jancok! Teman gak ada pahala ya gini!" Ujarnya kesal.

Mendengar itu membuat pemuda tadi tersenyum, rasanya umpatan dari temannya itu bagaikan kata cinta dalam bentuk yang berbeda, rasa cinta yang selama ini ia harapkan dari dua orang yang begitu ia sayangi, namun nyatanya tidak ada cinta yang mereka berikan, melainkan hanya sebuah tanggung jawab atas dosa yang mereka lakukan dulu.

"Nangis aja, percuma lo tahan."

Bagaikan sebuah peluru yang tepat mengenai sasarannya, ucapan seorang Barra tepat mengenai bidikannya yang membuat air mata tumpah seketika dari mata sayu milik Alviano.

Barra hanya mampu melihat dari sisi lain kamar, mendengarkan tangisan pilu sang sahabatnya itu, bukannya ia tak ingin memeluk tubuh pemuda ceria yang menyimpan luka dalam itu, namun Alviano memang tak pernah ingin dipeluk jika ia tengah seperti itu, baginya pelukan hanya membuatnya kian merasa sakit dan terluka, oleh sebab itu ia memilih untuk memeluk dirinya sendiri.

"Hallo? Sudah di depan lo? Naik aja ke atas... ." Terlihat seseorang menghubungi Barra, "ok, ok biar gue yang turun." Ia pun mematikan sambungan teleponnya lalu keluar dari kamar kost miliknya, meninggalkan Alviano seorang diri yang berusaha berdamai dengan lukanya.

~ ~ ~ ~ ~

"Gue bolos ya ni hari."

"Iya, gue juga mau bolos, males gue ketemu dosen ni hari."

"Bagus deh, jadi gue punya temen deh di sini."

"Van, lo mau cerita?"

"Nanti dulu ya Bar, gue butuh tenang dulu."

Barra mengerti, ia pun mengurungkan niatnya dan memilih untuk pergi guna mencari sarapan untuk mereka berdua.

Cahaya mentari yang menembus tirai-tirai putih itu membelai wajah Alviano, sebuah kristal berkilau terlihat jatuh beriringan dari ekor mata sayu itu, lambat laun bulir kristal bening itu berubah menjadi anak sungai air mata, kian deras disetiap waktunya, pertanda begitu lelah dan beratnya beban yang hatinya alami saat ini.

"Ma... Pa... Ke-kenapa Al harus lahir?"

Isakan demi isakan mulai keluar dari bibir mungil itu, bibir tipis bewarna ranum itu bergetar, setiap kata yang keluar terdengar kian samar yang berakhir dengan sebuah tangisan pilu, ungkapan rasa sakit di dalam dadanya yang kini tak mampu lagi ia tahan, begitu lama dan lelah ia menahan serta mengobati luka yang hadir dari sebuah tempat yang ia sebut 'rumah' namun nyatanya bak neraka yang bertopengkan keluarga.

"Kenapa?"

"Ke-kenapa? Hiks."

"Apa salah Al ya Tuhan?"

"Hiks... Al gak minta banyak, A-Al cuman minta keluarga."

"Keluarga cin-cinta dengan Al, ya Tuhan."

Tangisan itu kian menjadi saat memori masa lalu serta luka yang sudah ia lewati sampai saat ini, cinta yang membuatnya iri, keluarga bahagia seperti orang lain yang ia inginkan. Namun, semua itu hanyalah sebuah harapan saja bagi dirinya, sebab kenyataan begitu pedih yang membuat dirinya sering kali menangis melihat keceriaan serta cinta yang hadir dari keluarga orang lain.

OoO

Maaciw

365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang