Chapter 8

536 42 4
                                    

Krek!

"Assalamualaikum."

Dua orang pemuda berbeda tinggi masuk ke dalam sebuah rumah, seorang wanita paruh baya terlihat menyambut mereka berdua dengan salam dengan suara lembutnya.

"Umi, kenapa belum tidur?" Tanya si pemuda yang lebih tinggi kepada wanita paruh baya itu.

"Umi terbangun untuk minum, lalu mengapa kau terlambat pulang hari ini? Dan, siapa itu nak?"

"Ini Dek Al, Umi." Ujarnya mengenalkan si pemuda mungil itu kepada wanita yang ia panggil Umi itu.

"Assalamualaikum Tante." Ujar Alviano sopan.

"Nak Al, masuk sini jangan malu-malu." Wanita tua itu tersenyum melihat Alviano yang dengan sopannya memberikan salam. "Hendra, tolong jaga teman mu baik-baik."

"Baik Umi." Sahut Mahendra.

"Ayok sini." Diraihnya tangan Alviano lalu ditariknya pelan masuk ke dalam rumahnya.

"B-Bang." Seakan tak percaya, atau lebih tepatnya terpesona oleh sosok pemuda yang saat ini berjalan di depannya dengan tangan mereka yang saling bertautan.

Krek!

"Masuk Dek."

Siapa sangka, lagi-lagi Alviano dibuat terpesona oleh kamar yang ia masuki saat ini, semua barangnya tertata rapi, aroma wangi parfum khas Negara Saudi begitu terasa, ditambah ornamen islami yang menghiasi kamar tersebut kian membuat kesan agamis pada seorang Mahendra.

"Mandi dulu gih, itu kamar mandinya di situ, ada handuk baru di lemari kecil samping pintu, biar gue nyiapin baju buat lo."

"M-makasih Bang." Ucap Alviano gugur.

"Kok lo gugup gitu?" Mahendra menghampiri Alviano, "lo sakit lagi?" Wajah mereka begitu dekat, bahkan hembusan nafas Mahendra dapat Alviano dengar, sungguh pemuda tinggi itu tidak peka akan apa yang saat ini Alviano rasakan.

"Pipi lo merah terus perasaan." Jika Alviano itu adalah sebuah bom, maka bisa dipastikan ia sudah meledak saat ini akibat sentuhan tangan di pipinya.

"Aw!" Aduh Alviano sebab Mahendra mencubit pipinya.

"Pipi lo gemoy ya, cem bakpao, gue suka."

"Hehe gue mandi dulu ya." Karena tidak ingin wajahnya kian memerah karena kontak fisik yang Mahendra lakukan, Alviano memilih untuk melarikan diri ke kamar mandi sekaligus membersihkan dirinya.

Mahendra bingung dengan tingkah Alviano setiap kali bertemu dengannya, terlebih pemuda bertubuh jangkung itu terheran-heran mengapa saat bertemu dengan Alviano selalu di keadaan dimana pemuda lebih mungil darinya itu tengah dalam kesusahan.

"Lembut banget ya Tuhan." Tanpa ia sadari sebuah senyum terukir di wajah tampannya sembari dirinya menatap ke jemarinya yang tadi mengusap pipi berisi milik Alviano.

Malam kian larut, denting jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, suara sepinya alam begitu menenangkan malam itu.

"Dek Al."

"Iya Bang?"

"Ini, Punya lo?" Tanya Mahendra dengan menunjukkan sebuah kalung berbentuk salib kepada Alviano.

"Ini, Punya lo?" Tanya Mahendra dengan menunjukkan sebuah kalung berbentuk salib kepada Alviano

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"I-iya Bang, itu punya gue." Sepertinya Alviano terlupa akan kalungnya yang tanggalkan tadi sebelum mandi.

"Lo ngapain sih pake kalung segala? Mana kan ini simbol agama lain, bukan agama kita." Ucap Mahendra lalu memberikan kalung tersebut kepada Alviano. "Jangan pake ini, nanti dilihat sama Umi bisa kacau."

Alviano hanya mengangguk patuh lalu menyimpan kalung miliknya tersebut ke dalam saku celananya.

"Ya udah buruan tidur, lo bisa tidur di kasur, gue bisa di sofa."

"Eh? Kok gitu sih Bang, gue aja yang di sofa ih, Abang di kasur aja."

Mahendra menghela nafas pelan, ditariknya pemuda mungil itu pelan lalu didorongnya sehingga tubuh mungil Alviano terhempas di tempat tidur.

"Baca doa jangan lupa." Ujar Mahendra, tak lupa ia mengusap surai hitam Alviano.

"Bang!"

"Apa?"

"Gue udah keramas loh!" Kesal Alviano, tanpa sadar ia membuat wajahnya cemberut yang malah terkesan menggemaskan.

"Dek Al~" Deep voice khas Mahendra begitu menjadi candu di telinga Alviano.

"Iya?"

Dua pasang mata itu saling bertemu pandang, keheningan menerpa keduanya, suara burung malam terdengar bernyanyi merdu di luar sana.

"Lo imut."

Dan malam itu berlalu dengan Alviano yang hampir tidak tidur sepanjang malam, wajahnya bersemu merah dan sang pelaku yang menyebabkan hal itu terjadi kini tengah terlelap di kasur yang ada di seberang sana.

"Kontol! Murah banget sih lo hati, dipuji imut doang udah dangdutan aja lo, sial!" Ucap Alviano dengan senyum yang terus terukir di wajahnya.

Entah sadar atau tidak, saat bersama Mahendra semua masalah yang Alviano alami bak hilang ditelan alam, seperti kejadian yang menimpanya tadi, jika ia pulang ke rumah bisa di pastikan ia akan susah tidur sebab ketakutan. Namun, entah mengapa saat ini ia seolah terlupa akan kejadian tersebut, rasa hangat, nyaman, aman serta tenang saat bersama pemuda yang berbeda Tuhan dengannya itu sungguh mampu melenyapkan segala rasa sedih dan takutnya.

~~~~~

"Gimana tidurnya, Nyenyak?" Suara yang begitu indah menyapa pendengaran sesaat setelah seorang pemuda baru saja sadar dari tidur pulasnya, atau lebih tepatnya ia baru tertidur beberapa jam setelah puas memandangi wajah damai pemuda yang kini terlihat rapi dengan pakaian bewarna putih dan sarung berdiri di hadapannya kini.

"Hehehe, maaf ya ngerepotin."

"Gak papa kok Dek, mandi gih lo sana terus nanti kita makan bareng."

"Iya Bang." Alviano beranjak dari tempat tidur, turun ia lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi, sesaat sebelum masuk ke dalam kamar mandi tadi ia sempat melirik ke arah jam dinding, tertera di sana waktu menunjukkan pukul tujuh lewat. "Ibadah apa ya jam segini? Subuh?"

Tak butuh waktu lama bagi seorang Alviano untuk membersihkan dirinya, sepuluh menit di dalam kamar mandi lalu ia keluar dengan wajah segar serta tubuh wangi semerbak.

"Eh? Masih ibadah." Bingung Alviano melihat Mahendra yang masih duduk di atas kain yang ia bentang, aroma khas pohon gaharu begitu tercium semerbak di seisi kamar tersebut, Alviano berjalan perlahan ke arah sofa dan duduk di sana.

"Tenang banget rasanya." Monolog Alviano, matanya tak lepas dari tiap gerakan yang Mahendra lakukan, bahkan suara Mahendra saat tangannya tengah mengadah bagaikan musik yang menenangkan di telinga Alviano.

******

Sekian yah chapter ini

Semoga suka ya semuanya

Jangan lupa vote, komen & follow

🤗

365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang