Deru suara knalpot kuda besi terdengar nyaring menggema membelah kesunyian malam, sepinya malam itu dan jalanan yang lengang menjadi arena balap yang sempurna. Namun, malam itu jalanan sepi tersebut menjadi pelampiasan rasa sakit serta sesak di dada sang pengemudi kuda besi bewarna hitam kelam itu, tanpa menggunakan pelindung kepala ia biarkan angin malam menerpa wajahnya, menghapus air mata yang tak mampu ia bendung.
"Sial!" Teriaknya dengan terus memacu laju kuda besi itu kian kencang membelah malam yang kian larut, wajah merahnya menandakan betapa kesalnya ia saat ini, urat di tangan yang tengah mencengkram gas pada sepeda motor itu tercetak jelas.
Di bawah langit yang sama, di atas bumi yang berbeda, dua hati yang saling merindu tengah menatap langit malam yang berhamburan bintang di atas sana, tanpa adanya sang raja malam langit itu tetaplah indah. Namun, dua anak Adam yang kini terpisah oleh jarak dan waktu tanpa saling tahu kabar tak bisa seindah langit malam itu, jarak puluhan kilo meter menolak temu mereka walau sang waktu tahu berapa nestapanya dua hati yang saling rindu itu.
Seorang pemuda bertubuh mungil terlihat duduk di atas trotoar, di bawah sebuah lampu jalan yang terlihat redup, dibiarkan nya angin malam itu meniup anak rambutnya yang berayun pelan, menghapus air mata yang sedari tadi keluar tanpa mampu ia tahan.
"Jika rasa rindu itu bisa membunuhku, mungkin aku sudah terbunuh sejak lama." Ujarnya dengan mata basah menatap langit malam itu.
"Ya Tuhan, mengapa kau hadirkan rasa di atas sebuah asa yang tak mampu menjadi nyata?" Monolognya dengan isakan tangis yang mulai terdengar memecah kesunyian malam itu, liquid bening itu jatuh membasahi tanah yang menjadi saksi betapa terlukanya pemuda bertubuh mungil itu, mata bulat itu kian sayu terlihat sebab sering kalinya mata itu meluapkan rasa sakitnya lewat tangis dan air mata.
~ ~ ~ ~ ~
Kring!
Suara sebuah lonceng khas yang selalu terdengar saat pintu kayu terbuka, aroma wangi kopi menyeruak memenuhi seisi ruangan persegi yang dikelilingi kaca, tempat itu terlihat ramai di siang harinya, tawa serta canda berbaur indah di sana, ditemani secangkir kopi serta roti hangat yang selalu tersaji di sana, menjadikan kedai kopi tersebut menjadi tempat favorit orang-orang untuk berkumpul.
"Tolong cappuccino dingin satu."
"Atas nama siapa?"
"Al."
"Sebentar ya Kak."
Prank!
Seluruh mata seketika tertuju pada sumber suara tadi, sebuah gelas terlihat pecah dan terhambur di ubin bewarna putih itu.
"Bang, lo kenapa?" Seorang pemuda terlihat menghampiri pria bertubuh jangkung yang terdiam di tempatnya dengan pecahan beling tadi tepat berada di bawah kakinya.
"A-Al?" Bibirnya bergetar mengucapkan nama pemuda yang kini jua menatap dirinya bingung.
"Bang, bukan Al yang itu." Ujar pemuda tadi menghampiri pria jangkung tersebut.
"G-gue mau ke belakang dulu." Ujarnya lalu pergi dari sana, menyisakan tanda tanya besar oleh orang-orang di sana.
Namun, diantara banyaknya orang di sana, ada seseorang yang tengah duduk di kursi pojok kedai tersebut, diam ia dengan menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di sebalik poni rambut serta tangannya yang bebas.
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Hari
RomanceIzinkan aku egois sekali saja, sebab belum puas aku mencintaimu dan memilikimu seutuhnya.