Detik demi detik terus berlalu, jam berganti hari dan hari berganti minggu, semuanya adalah hidup dan hidup mempunyai arti, pelajaran serta pengalaman di setiap harinya. Layaknya luka yang lambat laun sembuh seiring berjalannya waktu, begitu pula apa yang seorang Alviano rasakan, tak terasa seminggu sudah lamanya ia tinggal bersama sang pujaan hatinya, atau bisa disebut cinta dalam diamnya.
Alviano, pemuda berusia dua puluh tahun itu terlihat sudah baik dan mulai melakukan aktifitasnya seperti biasa, bahkan kini ia sudah mampu untuk mengikuti kelas kembali. Siapa sangka jika seorang Mahendra benar-benar membawa perubahan bagi hidup Alviano, lukanya yang begitu perih mampu diobati oleh sosok pemuda yang ia temui di kedai kopi tersebut.
"Ini kopi lo, ntar bantuin gue beresin meja ok." Ujar seorang pemuda tinggi dengan memberikan secangkir kopi kepada seorang pemuda yang duduk di meja sudut kedai kopi tersebut.
"Siyap komandan." Sahutnya dengan tersenyum lebar, menunjukkan jeretan gigi putihnya.
Alviano bagaikan punya space pribadi di kedai kopi tersebut, dirinya selalu duduk di meja paling sudut di kedai tersebut, entah mengapa tidak banyak orang yang suka duduk di sana, namun pemuda bermata teduh itu pasti duduk di sana, tempat pertama kalinya ia melihat sosok Mahendra dan jatuh cinta di tempat itu pula kepada sosok pemuda tersebut.
Setiap malam Alviano akan menemani Mahendra di kedai kopi, membantu jika ada yang bisa ia bantu, walau tak jarang Mahendra melarangnya untuk melakukan sesuatu, namun bukan Alviano jika ia tidak memcari akal untuk sesuatu demi bisa lebih membuat seorang Mahendra terkesan padanya.
"Lihat aja, akan gue buat lo jatuh cinta ke gue sebelum 365 hari." Ujar Alviano sambil memandangi punggung lebar yang beberapa hari ini selalu jadi pemandangannya di tiap malam dan pagi hari, punggung yang kuat menggendong dirinya saat sakit.
Hari demi hari rasa cinta Alviano kian dalam kepada sosok Mahendra, pemuda yang bertubuh lebih tinggi darinya itu sungguh membuatnya mabuk karenanya, terlebih lagi perlakuan Mahendra begitu lembut dan membuat dirinya luluh karenanya, sosok pemuda yang kini tinggal di bawah satu atap dengannya itu adalah pemilik tahta tertinggi dalam rasa cinta Alviano.
Pletak!
"Aduh! Sakit anj-"
"Mulut!" Suara Mahendra meninggi dari biasanya, seketika itu membuat Alviano terdiam dengan mengusap keningnya yang baru saja dijentik oleh Mahendra.
"Sakit tau Bang!" Kesal Alviano dengan wajah memerah.
"Lagian lo ngelamun ampe gue jauh jalan di depan sana, lo nya masih jalan pelan banget."
"Tapi bisa kan gak usah ngejentik gitu segala." Sewot Alviano.
"Ya udah, lain kali gue gak mau balik nyamperin lo, biar dah lo pulang sendirian!" Sahut Mahendra lalu berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Alviano yang terkejut bukan main, sebab ini pertama kali baginya melihat Mahendra marah, raut wajahnya Mahendra begitu kesal terlihat, terlebih cara berjalannya yang begitu cepat menjauh dari Alviano, membuat pemuda bertubuh mungil itu merutuki dirinya sendiri sebab bersikap kasar kepada Mahendra.
Alviano hanya bisa diam menatap kepergian Mahendra yang lenyap bersama bus yang ia masuki tadi pergi jauh dari pandangannya.
"Gue gak usah pulang sekarang deh, jalan dulu aja kali yak? Bang Mahen pasti masih kesel banget."
Alviano pergi entah kemana, yang pasti ia hanya ingin sendiri saja saat ini, cukup lelah baginya melawati beberapa praktek ujian saat di kampus tadi dan juga dirinya yang sempat bertemu dengan Raja, beruntunglah Alviano dengan cepat menyembunyikan dirinya saat melihat Raja seperti dengah mencari seseorang tepat di depan gedung fakultasnya, membuat mood Alviano sedikit memburuk.
~ ~ ~ ~ ~
Malam itu angin berhembus dengan kencangnya, popohonan bergoyang kekiri serta ke kanan, suara gemuruh di langit mulai terdengar saling bersahutan. Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, di sebuah kamar yang dimana lampunya masih menyala, terlihat seseorang berdiri menghadap arah matahari terbenam, matanya jatuh pada bumi di bawahnya, namun pikirannya melayang entah kemana, sungguh perasaan yang tak karuan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Fokusnya bak pecah menjadi dua, yang biasanya dia hanya terfokus satu hal di saat seperti ini, namun kini pikirannya berkelana jauh keluar sana, mencari dan mencari sosok pemuda si pemilik mata teduh yang kini tak ada di jangkauang matanya.
"Astaga!" Diusapnya wajahnya gusar, ia pun melepas pakaian bewarna putih itu serta tak lupa melipat kain yang dibentangnya tadi lalu menyimpan semuanya.
"Maaf ya Tuhan." Monolognya lalu berlalu pergi keluar dari kamarnya.
Pukul tiga dini hari, ditambah angin kencang serta hujan suri yang membasahi kota saat itu. Tubuh jangkung dengan dibaluti hodie bewarna biru malam serta celana jeans panjang itu berlari-lari kecil dengan pandangannya menyisiri ke arah sekitarnya, tak lupa sebuah senter ia bawa sebagai alat penerangan.
"Dimana?" Wajahnya terlihat gusar, rambutnya ia acak karena merasa mulai putus asa.
"Sialan!" Kesalnya lalu tanpa sadar menghempaskan senter yang ia bawa tadi ke tanah hingga hancurlah benda tersebut.
"Bang Mahen~"
Suara lembut itu mencuri segala atensi pemuda bertubuh jangkung tersebut, spontan tubuh tunggi itu berbalik dan mendapati seorang pemuda bertubuh lebih pendek darinya di sana. Tanpa permisi pria dipanggil Mahenda itu menarik pemuda tersebut dan membawanya ke pelukannya, dipeluknya erat pemuda mungil itu, tenggelam ia dalam dekapan tubuh besar Mahendra.
"Maafin gue ya, maafin gue Dek Al."
Malam itu atau lebih tepatnya dini hari saat itu, di bawah langit kelabu serta derasnya angin disertai rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi. Detik serta menit itu pula, sebuah rasa yang telah tersimpan lama di dalam dada terucap dari bibir mungil dan ranum. "Bang, gue cinta sama lo," mata sayu itu menatap lekat tangan besar yang kini menariknya pelan membelah deraian hujan yang mulai turun, entah terdengar atau tidak, yang pasti Alviano merasa bahagia atas pengakuan rasa cintanya.
"Dia Mahendra, lelaki yang akan selalu menjadi sang fajar bagi diriku, menjadi cahaya yang akan selalu ku tuju, serta kehangatan yang akan selalu ku rindu."
* * * * *
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Hari
RomanceIzinkan aku egois sekali saja, sebab belum puas aku mencintaimu dan memilikimu seutuhnya.