Suara gemericik air terdengar dari dalam kamar mandi yang berada di dalam sebuah kamar, tak lama pintu putih itu terbuka dengan seorang pemuda bertubuh tinggi keluar dengan seember air di tangannya. Berjalan ia menuju ke sebuah kasur dimana di sana terlihat seorang pemuda dengan wajah pucat, mata merah, tubuh bergetar serta isakan tangis yang terdengar samar keluar dari bibir ranum yang nampak bengkak dan ada bekas luka itu.
"Sudah ya, jangan nangis lagi." Dengan lembut pemuda tinggi itu menghapus air mata dari pemuda yang duduk dengan bertelanjang dada itu, sebuah handuk melilit dipinggang dan menutupi hingga ke lututnya.
"Jangan ngomong dulu deh ya, sekarang biar gue bersihin tubuh lo dulu."
"I-iya."
Dengan pelan pemuda tinggi tadi menyeka tubuh pemuda mungil itu dengan handuk kecil dan air yang dibawanya tadi, tak lupa ia membersihkan wajah, telinga, bahkan membasahi dan menggosok pelan surai hitam yang berantakan itu.
"Gue minta maaf ya." Ujarnya menatap tepat ke onix nan basah itu, dengan tangannya yang perlahan mulai menggosok bagian paha pemuda tersebut, sesekali sang empunya meringis dan bisa dipastikan terdapat luka di sana.
"Besok gue bawa lo ke dokter ya, gue takut luka lu infeksi." Yang diajak bicara hanya mengangguk, ia hanya mampu diam dengan sesekali menangis.
"Ini baju buat lo, pakai ya Dek. Gue mau keluar bentar buat ngobrol sama Umi." Ujarnya dengan memberikan sepasang kaos dan celana lalu ia pun berlalu pergi keluar dari kamar tersebut.
~ ~ ~ ~ ~
Krek!
"Makasih ya Abang Mahendra."
"Gak perlu makasih Dek, gue seneng liat lo bisa senyum lagi gini."
"Semua karena Abang."
"Udah yuk, kita pulang ya, lo harus minum ini obat ampe habis ya." Mahendra menunjukkan sebungkus kantong plastik berisikan beberapa jenis obat-obatan.
"Harus ya?" Tanya Alviano dengan menunjukkan puppy eyes miliknya.
"Ya haruslah, kalo gak ya itu terserah lo, gue gak mo repot." Sahut Mahendra lalu berjalan terlebih dahulu, dan jangan lupakan tangan besar itu yang senantiasa menggenggam tangan yang berukuran lebih mungil milik Alviano.
Usai dari rumah sakit, keduanya pun kembali ke rumah Mahendra. Beruntunglah hari itu Mahendra tengah libur bekerja, jadilah ia bisa membantu Alviano ke rumah sakit sesuai janjinya.
Sesampainya di rumah, mereka langsung masuk ke kamar Mahendra, Alviano harus banyak beristirahat agar lukanya cepat sembuh.
"Bang, abang." Panggil Alviano pada Mahendra yang terlihat tengah menyiapkan obat milik Alviano.
"Hem?"
"Yakin gak papa aku tinggal di sini? Tante gak keberatan?" Tanya Alviano.
"Lo lupa apa kata Umi pagi tadi?"
"I-iya Bang, tapi Tante beneran gak keberatan?"
"Lo nanya lagi nih obat gue masukin ke mulut lo semuanya sekaligus."
Seketika Alviano diam, ia hanya merasa tidak enak dengan keluarga Mahendra yang dengan mudahnya menerima dirinya yang dimana Alviano adalah orang yang baru mereka kenal, bahkan mereka tidak tahu siapa Alviano sebenarnya.
"Ini, diminum semuanya habis itu lo harus istirahat." Mahendra memberikan segelas air dan beberapa pil obat yang Alviano harus minum.
Mata setajam elang menatap pemuda yang bertubuh lebih mungil darinya itu, dari ujung rambut hingga ujung kaki ia menelisik tiap jengkal tubuh pemuda yang tenggelam dalam pakaian kebesaran miliknya itu.
"Jadi ... ." Mahendra mendekat ke arah Alviano, wajahnya tepat berada di depan wajah Alviano, dua pasang mata itu saling menatap dalam, mendapati pantulan diri mereka di manik hitam itu. "Sekarang istirahat ya."
Cup!
Sebuah kecupan lembut di keningnya Alviano dapati, seketika wajahnya memerah dan sipelakunya sudah menghilang di sebalik pintu kayu di sana, meninggalkan Alviano dengan senyum bahagia, seolah ia terlupa dengan apa yang terjadi padanya senalam.
"Entah apa yang Tuhan rencanain, tapi jujur, gue makin jatuh cinta sama lo Bang Mahendra." Ujar Alviano dengan terus memandangi pintu tersebut.
~ ~ ~ ~ ~
"Jangan malu-malu nak Al, anggap saja seperti rumah sendiri." Ujar seorang wanita paruh baya yang duduk tepat berseberangan dengan Alviano.
"Te-terima kasih tante."
"Ya udah makan gih lo, terus minum obat biar cepet sembuh." Ujar Mahendra dengan memberikan segelas air putih pada Alviano.
Dan malam itu Alviano bak menemukan sesuatu yang ia cari dan ia inginkan, yaitu kehangatan dari keluarga, walau tidak lengkap namun dari Mahendra dan sang Umi dirinya merasakan sebuah rasa baru yang sungguh menyentuh dirinya, hingga tanpa ia sadari liquid bening jatuh dari mata sayu itu, sungguh rasa saat ini adalah rasa yang Alviano idam-idamkan hadir dari kedua orang tuanya, namun itu semua hanya sebuah harapan tanpa mampu ia wujudkan menjadi sebuah kenyataan.
"Dek Al, Dek! Lo kenapa?"
"Alviano."
"Dedek Al~" Deep voice khas Mahendra keluar seketika.
"B-Bang~" usapan lembut pada wajahnya serta suara Mahendra bak menarik Alviano ke kesadarannya.
"Dek, lo-"
Greb!
Alviano menghambur ke pelukan Mahendra tanpa sempat Mahendra menyelesaikan ucapqnnya, pemuda bertubuh mungil itu memeluk lehernya erat, sebuah isakan tak lama terdengar, tubuh mungil itu bergetar bersamaan dengan tangis pecah dari Alviano yang membuat baik Mahendra atau sang Umi bingung karenanya.
"Nangis aja sepuas lo, gue ada di sini." Ucap Mahendra dengan mengusap lembut punggung Alviano.
Karena hal tersebut, tangis Alviano kian pecah, bahkan air matanya dapat Mahendra rasakan jatuh mengenai leher jenjangnya.
"Lo kenapa dek? Gue khawatir. "
Mahendra sang dan Umi saling pandang, seolah tengah berkomunikasi lewat tatapan dan gerak tubuh. Wanita paruh baya yang acap dipanggil Umi itu tersenyum melihat pemandangan yang ada di hadapannya saat ini, entah bagaimana rasa sayang terhadap seorang pemuda yang kini berada di dekap putranya itu hadir di dadanya, sedangkan dirinya pun belum mengetahui dengan jelas siapa sosok pemuda bernama Alviano tersebut.
* * * * *
Jangan lupa vote & komen yaw
Terima kasih 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Hari
RomanceIzinkan aku egois sekali saja, sebab belum puas aku mencintaimu dan memilikimu seutuhnya.