Suara lonceng terdengar nyaring dari sebuah gereja, riuh ramai suara orang-orang berdatangan ke tempat ibadah tersebut, tawa serta canda terdengar hador dari tiap-tiap jemaat yang hadir di sana.
“Ini si Alviano kemana sih Bar?” ujar seorang gadis berdiri di depan gereja, gaun bewarna biru malam yang membalut tubuhnya begitu anggun.
“Biasalah tuh anak, orang tuanya aja sudah datang tuh, dianya malah telat.” Sahut Barra yang berdiri tepat di samping gadis tadi.
"Ujung-ujungnya tuh anak malah gak dateng lagi."
"Biasalah Stella, lu cem gak tau tabiatnya si Alviano dah, kita masuk duluan yuk."
"Ck! Iya."
Barra dan Stella pun masuk ke dalam Gereja, sebab semua orang pun masuk ke dalam sana. Namun, tahukah kalian, orang yang mereka tunggu tadi malah terlihat tengah berada di depan sebuah kedai kopi, dengan sebuah paper bag di tangannya.
"Ini warung kenapa belom buka sih jam segini? Ck! Mana udah panas lagi pagi-pagi gini." Gerutunya sambil menggerakkan kepalanya kesana kemari guna melihat apakah ada orang di dalam kedai kopi tersebut.
"Oi! Lo mau maling ya."
Sebuah teriakan kencang membuat pemuda tadi yang tak lain adalah Alviano terloncat kaget.
"Untung gak copot akhlak gue gegera lu." Ujar Alviano.
"Lo ngapain celengak celinguk gitu? Mau maling ya lo." Tuduh pemuda tadi yang mengagetkan Alviano.
"Lo mau gue hajar? Modelan gue gini disangka maling."
"Biasanya yang kek lo tuh modelan mokondo yang nyari kesempatan dalam kesempitan." Sahut pemuda itu yang sukses menyulut kekesalan dari Alviano.
"Bangsat!"
Siapa sangka jika Alviano benar-bener melayangkan tinjunya pada pemuda tersebut, sebuah pukulan kuat yang membuat pemuda yang bertubuh lebih kecil darinya itu tersungkur ke tanah.
"Gue robek nih mulut lo!" Diterjangnya pemuda yang masih terbaring di tanah itu, sebuah pukulan lagi-lagi ia dapatpan pada wajahnya.
"Sudah!" Sebuah tangan kurus menahan tangan Alviano yang siap melayangkan tinjunya lagi.
Alviano memalingkan wajahnya ke arah sang empunya tangan tersebut, sungutnya siap berkata kasar namun ia terdiam seketika oleh tatapam setajam mata elang itu.
"Bang Mahendra." Suara Alviano menjadi normal seketika, cengkeraman tangannya pun terurai perlahan, api di onix hitam miliknya padam saat manik elang milik Mahendra bertemu dengannya.
Perlahan Mahendra menarik tangan Alviano agar pemuda itu menjauh dari atas tubuh pemuda yang ia hajar tadi.
"Kamu gak apa-apa Dek?" Ujar Mahendra.
"Iya Gu-"
"Sini Kakak bantu bangun." Dengan perlahan Mahendra membantu pemuda yang dihajar oleh Alviano tadi untuk bangun, "kita masuk ya."
"Iya Kak." Pemuda itu masuk dengan Mahendra yang merangkul pinggangnya.
Alviano yang melihat itu hanya bisa diam, tersirat jelas di matanya pandangan iri serta kekecewaan. Dirinya iri sebab bukan dirinya yang ditolong, ia kecewa karena Mahendra tak sedikitpun menanyakan kedaannya.
Drt!
"Hallo?" Alviano menerima panggilan tersebut.
"Oi! Anak bapa yesus, kenapa lo gak dateng!" Suara perempuan begitu ia kenali menggema dari layar pipih itu, Alvian sudah menduga jika temannya itu pasti akan menghubunginya setelah selesai beribadah.
"Gue lagi berak, bye." Diputuskannya sambungan telepon itu lalu dimasukkannya kembali ponsel berkamera seperti boba itu ke dalam sakunya.
Kaki pendek itu melangkah pergi dari sana, sambil sesekali ia berbalik dan menatap lurus pada pintu kedai kopi tersebut, terbuatkan dari kayu yang dimana terukir sebuah ukiran indah di sisi serta gagang pintunya, terlihat sebuah paper bag bertengger di sana.
~ ~ ~ ~ ~
Baskara membumbung tinggi di langit sana, duduk di singgahsana miliknya dengan indahnya, cahaya hangatnya membelai tiap penjuru belahan bumi lainnya.
"Pulang ke rumah percuma, pasti Papa sama Mama berantem lagi." Manik hitam nan berkilau oleh cahaya matahari itu menatap ke arah langit sana, perasaannya terasa kelabu, sepi bak ditelan gulita malam, yang dingin tanpa ada cahaya.
"Apa gue kabur ke rumah Nenek aja ya? Tapi kan... ." Rasa sesak tiba-tiba menghampiri dirinya, dadanya terasa penuh oleh luka yang tak berdarah.
Tap!
"Lo kenapa nangis?"
Sebuah tepukan lembut serta suara berat namun terdengar indah itu menarik kesadaran seorang pemuda yang sedari tadi tengah melamun, dengan cepat ia menghapus air matanya lalu membenarkan posisi duduknya.
"Lo ada masalah?" Tanya seorang pemuda tampan dengan kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya itu.
Pemuda tadi menggeleng, ditariknya senyum walau tipis guna meyakinkan pemuda tersebut.
"Really? You can tell me if you want."
"I'm fine, thank you."
Pemuda tampan itu pun diam, maniknya tak lepas dari menatap pada salah satu ciptaan Tuhan tersebut, sungguh ukiran sempurna dari tangan Tuhan.
"Lo ngapain di sini sendirian?" Tanya pemuda tadi.
"Lagi belajar ninjutsu gue." Sahut pemuda lainnya.
"Nama lo siapa?"
"Alviano."
"Gue Raja, boleh kan gue nemenin lo di sini?"
"Serah, asal lo jangan berisik, gue lagi puyeng." Sahut Alviano jutek lalu kembali bersandar pada punggung kursi itu dan menutup matanya, menikmati hembusan angin yang membelai wajah manisnya, meniup surai hitam yang hampir menutupi seluruh alisnya, wajah itu terlihat lelah.
"Manis banget nih makhluk satu, mau gue gulung nih bumi rasanya biar cuman kami berdua yang hidup." Monolog Raja dengan terus memandangi wajah itu tanpa bosan.
Dari kejauhan terlihat bayangan tinggi seseorang tergambar di sebalik pohon besar, dengan segelas minuman yang terbungkus di plastik kecil berlogo sebuah biji kopi.
OoO
Semoga suka na
Jangan lupa vote & komen
Pay pay
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Hari
RomanceIzinkan aku egois sekali saja, sebab belum puas aku mencintaimu dan memilikimu seutuhnya.