Chapter 17

414 44 3
                                    

"Lo mau kemana?"

"Gue mau beli minum bentar, lo masuk aja duluan."

"Kok lo ninggalin gw sih Bar! Kan kita sepakat masuk bareng."

"Bareng? Lo salome?"

"Asu!" Maki Alviano.

"Masuk udah, temuin calon imam lo." Ledek Barra.

"Is, gue gak berani su, bareng pokoknya."

"Lo lupa perjanjian kita semalem? Lo juga lupa gimana karena ulah lo, anak orang ampe masuk rumah sakit." Barra berlalu pergi tanpa memperdulikan Alviano yang memakinya, membuat suara pemuda mungil itu menggema di lorong tersebut.

"Security!" Teriak salah satu suster di sana.

"Kontol! Masuk ajalah daripada malu diseret." Alviano pun bergegas masuk ke dalam ruangan itu, dinding putih, tirai bewarna hijau pastel, serta aroma khas rumah sakit menyeruak menyapa indera penciuman nya.

"Siapa kamu!" Marah seorang wanita yang melihat Alviano masuk dan menutup pintu itu dengan kuat. Bukan Alviano namanya jika ia tidak membuat keributan dimanapun ia berada.

"Sa-saya Alviano."

Wanita itu memicingkan matanya menatap Alviano dari ujung rambut sampai ujung kaki, membuat Alviano menjadi merasa sedikit takut dengan tatapan mengintimidasi itu.

Sret!

Tirai hijau bewarna hijau pastel itu terlihat tergeser dan menampakkan seorang pria tengah duduk di atas tempat tidur pasien, dengan selang infus menancap di tangan serta sebuah alat entah apa itu berada tak jauh dari tempat tidur pasien.

"Dek Al~" Deep voice itu menggema di ruangan tersebut, suara dari pemuda yang menggeser tirai itu sukses membuat Alviano merasa lemah dan benar saja, tanpa ia sadari air matanya turun dari kedua mata sayu nya. Rasa rindu, cinta, luka, bahagia serta marah menjadi satu saat ini di dalam diri Alviano.

"Kini aku sadar, rasa cintaku padamu bukanlah rasa sesaat saja, melainkan rasa tulus yang nyata adanya." Monolog Alviano dengan mata tak lepas dari menatap Mahendra yang jua menatap dirinya dengan tatapan yang sama seperti saat mereka bersama dulu, tatapan yang selalu membuat seorang Alviano merasa nyaman, aman serta rasa dicintai itu tak berubah walau Alviano telah menyakitinya.

"Saya pamit keluar Tuan Mahendra." Ucap wanita tadi yang ternyata adalah seorang Dokter.

"Terima kasih Dokter."

Keheningan melanda keduanya usai kepergian sang Dokter tadi, entah mengapa ruangan dingin itu terasa kian dingin. Dengan Alviano yang masih setia berdiri di tempatnya dengan air mata yang menganak sungai di pipinya, sedangkan Mahendra entah apa yang dipikirkan pemuda itu ia hanya menatap Alviano dengan senyuman yang begitu tulus.

Tiga bulan memanglah waktu yang singkat, namun waktu itu akan terasa lama dan terasa berat bagi mereka yang menumpuk rindu di setiap harinya.

"Sampai kapan mau berdiri di situ hem? Tambah pendek baru tau." Ejek Mahendra mencoba memecah keheningan mereka berdua.

Alviano bingung harus bagaimana, tangannya bergegas menyeka air matanya, tatapannya jatuh ke lantai putih di bawahnya, ia benar-benar mati kutu saat ini. Hatinya bahagia sekaligus merasa bersalah atas apa yang sudah ia lakukan hingga membuat Mahendra seperti saat ini.

"Udah ya, jangan nangis lagi, muka lo tambah jelek kalau nangis." Sebuah usapan lembut pada wajahnya sukses membuat Alviano menjadi gelagapan bukan main, entah mengapa ia menjadi se-terkejut itu, padahal dulu Mahendra sering kali mengusap bahkan mencubit pipinya karena gemas.

"Duduk yuk, gak pegel lo berdiri terus?" Dengan santainya Mahendra menarik tangan mungil Alviano dengan tangan satunya mendorong tiang beroda tempat ia menggantung kantong infus. Tangan lembut itu masih terasa sama seperti terakhir kali ia menggenggamnya dulu, jemari mungil itu selalu tenggelam digenggaman tangan besarnya, rasa bahagia seketika menyeruak dan memenuhi seisi ruangan tersebut, ribuan kupu-kupu bak menari-nari di atas dua anak Adam yang kini tengah berhasil lepas dari jeratan menyiksa mereka yang bernama rindu.

"Bantuin taruh ini di ujung itu dek." Pinta Mahendra pada Alviano untuk menolongnya menaruh tiang tadi ke tempatnya dan Alviano melakukannya dengan senang hati.

"Duduk sini." Mahendra menepuk sisi tempat tidur pasien.

Alviano hanya mengangguk lalu naik ke atas tempat tidur pasien, namun bukan di tempat yang ditepuk oleh Mahendra tadi, melainkan tepat di samping Mahendra saat ini yang juga memposisikan dirinya duduk bersandar.

"Kam-"

"Diem dulu boleh?" Pinta Alviano begitu lembut, mata sayu yang masih terlihat basah itu menatap lekat wajah tampan yang ia rindukan, jujur tiga bulan berpisah hampir membuat Alviano gila rasanya, satu bulan ia tak mampu melihat bahkan mendengar suara sang pujaan hatinya itu, hanya lewat ingatan saja ia menggambarkan rasa rindunya lewat angan yang selalu ia ciptakan dalam khayal nya di setiap malam sebelum ia tertidur.

"Mau ngisi energi dulu." Ucapnya lagi lalu menyandarkan kepalanya ke bahu lebar Mahendra lalu memejamkan matanya, bahu yang selalu ia lihat saat bangun dan hendak tidur, bahu yang selalu setia menjadi tempatnya merebah riuh isi kepalanya, bahu dan punggung yang selalu menjadi imamnya di lima waktu setiap harinya tanpa Mahendra tahu jika Alviano bukanlah bagian dari orang yang wajib melaksanakan nya.

"Gue juga mau ngisi daya gue." Ucap Mahendra lalu melingkarkan tangannya ke pinggang ramping Alviano dan ikut memejamkan matanya.

Seperti yang keduanya katakan mengisi energi, nyatanya sebuah rasa entah apa mereka pun tak tahu mulai hadir dan seolah memenuhi ruang di relung hati yang sempat hampa dan hampir gersang sebab tak disirami oleh sang penghuninya.

Seulas senyum hadir dari dua bibir anak Adam itu tanpa harus bersuara, cukuplah rasa yang kini saling mengisi menjadi jawaban atas apa yang hendak keduanya katakan, Cukuplah rindu itu disampaikan lewat detak sentuhan kecil jemari keduanya yang saling mengusap bagian tubuh satu sama lain.

"Makasih, karena sudah kembali." Monolog Mahendra dengan mengusap pelan badan Alviano yang terlapis hoodie tebal.

"Terima kasih wahai Tuhan, kau hadirkan temu pada kami yang hampir putus asa karena dibelenggu rindu, walau aku tahu luka pasti akan kembali menyayat diri ini, namun izinkan kali ini aku bahagia menikmati luka bersama orang aku cintai." ~ Alviano.

Tangan Mahendra yang melingkar di pinggang ramping itu kian mengerat, membuat dua tubuh itu kian tak memiliki jarak.

"Tuhan, jadikanlah ini temu yang tak akan berakhir rindu seperti dulu, jadikanlah kebersamaan ini takdir yang tak akan pernah berakhir." ~ Mahendra.

* * * * *

Jangan lupa vote, komen dan follow ya teman-teman

Terima kasih 🐸

365 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang