Suara kicauan burung terdengar di luar sana, menari kesana kemari dengan bebasnya, jangan lupakan semilir angin yang berhembus kencang meniup pepohonan tinggi di luar sana.
"Tenang banget." Ucap seseorang yang kini terlihat duduk dengan tenang di atas tempat tidur pasien, jangan lupakan seorang pemuda lainnya yang duduk di belakangnya sembari memeluknya dari belakang, walau agak kesusahan dikarenakan selang infus yang tertancap di tangannya.
"Kangen banget." Bisik pemuda yang kini kian menempelkan dadanya pada punggung kecil itu, "dengar gak suaranya?"
"Suara apaan bang?"
"Ck! Lupain." Ujarnya lalu memendam wajahnya ke leher bagian belakang pemuda yang bertubuh lebih mungil darinya itu.
Senyum terukir dari dua bibir itu tanpa mata mereka melihat, pelukan itu kian erat sampai suara pintu dibuka membuat pelukan itu mengurai dan Alviano yang langsung meloncat turun dari tempat tidur pasien itu.
"Hayo! Lagi ngapain kalian?" Suara ceria itu menggema dari seorang pemuda yang memiliki tubuh sepantaran dengan Alviano.
"Barra? Iya bukan." Tanya Mahendra kala melihat pemuda itu.
"Iya ini gue bang, yang dulu lo anterin si tuyul ini ke kost gue waktu itu." Tutur Barra, mengingatkan Mahendra dimana saat ia bertemu dengan Alviano di jalan dengan kondisi pemuda itu yang cukup kacau.
Alviano nampak bingung, ia tak mengerti apa yang Mahendra dan Barra bicarakan.
"Lo inget pas orang tua lo cerai? Lo pergi dari rumah terus lo pingsan di jalan, pas lo bangun lo udah di kost gue, inget gak lo?"
Alviano mengangguk.
"Nah, bang Mahendra nelpon gue pake hp lo, terus dia anterin lo ke kost gue deh, terus makanan sama kopi yang kita makan malam itu, semua dari dia noh yang anter ke kost gue." Tutur Barra sembari menatap Alviano dan juga Mahendra secara bergantian.
"Keknya gue pulang aja deh, gue cuman nganterin nih tuyul ke sini, ada yang mau dia bilang ke lo bang katanya, sisanya lo berdua selesein secara empat mata, gue mau pulang dulu yak, gws bang." Barra bersalaman kepada Mahendra lalu membisikkan sesuatu kepada Mahendra, "inget bang kata pepatah, dari mata turun ke lobang tai." Lalu ia pergi meninggalkan Alviano dan Mahendra.
"Jadi, apa yang mau lo jelasin dek?" Tanya Mahendra setelah suara pintu ditutup terdengar.
Alviano menarik nafas dalam, matanya menatap kearah Mahendra takut, dari onix sekelam malam itu tersirat sebuah luka dan ketakutan yang Alviano simpan.
"Maaf." Ucapnya singkat.
Mahendra diam, ia menunggu Alviano menyelesaikan apa yang ingin ia katakan, tatapan setajam elang itu menatap semua gerak gerik pemuda bertubuh lebih mungil darinya itu, terlihat kegelisahan dari pemuda yang kini terlihat menahan sesuatu di dadanya.
"Maaf karena gue bohongin lo bang selama ini." Tatapan Alviano ke lantai di bawahnya.
"Sebenernya gue itu Kristen, maaf gue selama ini bohongin lo dan Umi." Suara pemuda itu tampak tertahan, tubuhnya terlihat bergetar.
"G-gue gak mau kehilangan rasa nyaman dari lo dan Umi." Tangisan mulai keluar dari bibir ranum itu.
"Sebab, gue gak nemuin itu dari keluarga gue." Liquid bening mulai jatuh dari mata sayu itu, sesakit itu kah yang Alviano rasakan? Sesulit itukah baginya menyembunyikan siapa dirinya yang sesungguhnya? Jawabannya adalah 'iya' pemuda dengan sejuta luka itu harus menghadapi dunia tanpa ada rasa cinta dan sayang dari kedua orang tua nya, mendamba rasa hangat yang orang-orang sebut keluarga.
"G-gue gak pernah makan bareng kedua orang tua gue."
"Gue gak pernah dielus di kepala kayak yang Umi lakuin, jujur gue bahagia saat lo atau Umi memperlakukan gue lembut gitu, gue gak minta lebih bang gak, gue cuman mau rasa sayang dan cinta dari keluarga itu hadir untuk gue." Tangis Alviano pecah tak tertahankan, pemuda mungil itu menangis begitu pilu, rasa sesak yang sedari tadi ia tahan lepas menjadi air mata, seketika memori kebersamaan mereka berputar di dalam benaknya.
"Maaf bang, ma-maaf gue harus bohong ke lo dan Umi, maaf gue selama ini cuman main-main ngelakuin ibadah yang selalu lo ajarin ke gue, tapi jujur dari lubuk hati gue ada rasa nyaman saat gue ngelakuin itu bersama lo bang." Tutur Alviano dengan derai air mata yang terus turun membasahi pipi berisi nya itu.
Mahendra diam tanpa mengeluarkan sedikit suara pun, ia mengerti dengan semua yang Alviano katakan terlepas dari fakta bahwa Alviano tidak se-Tuhan dengan dirinya.
"Maafin gue bang." Ucap Alviano dan kembali menangis hingga beberapa saat barulah pemuda itu tenang.
"Udah tenang? Sini deh duduk di samping gue."
Alviano mengangguk patuh lalu duduk tepat di depan Mahendra yang bersandar pada tempat tidur yang dibuat naik di bagian kepala.
"Siniin tangan lo." Titah Mahendra dan Alviano patuh mengulurkan tangan sebelah kanannya.
"Lo tau gak kenapa Tuhan nyiptain tangan itu dua beserta kesepuluh jarinya gini?"
Alviano menggeleng pelan.
"Lo bayangin orang yang gak punya tangan, sebelah aja pasti dia susahkan untuk ngelakuin aktifitas yang harus menggunakan dua tangan bukan?"
Alviano diam dengan mengangguk pelan.
Tangan mungil itu digenggam erat oleh tangan besarnya, "sama kayak manusia, kita perlu orang lain untuk membantu kita bukan? Sebab manusia itu makhluk sosial yang memerlukan orang lain dalam hidupnya. " Mahendra menarik tangan mungil itu dan membuat tubuh Alviano maju ke arahnya.
"Begitu juga dengan pa yang terjadi saat ini, lo hadir di hidup gue atau gue yang hadir di hidup lo itu semua adalah untuk saling membantu, lo dengan harapan memiliki keluarga yang hangat dan itu lo dapetin dari gue dan Umi, juga dengan gue yang pengen banget punya saudara dan hadirnya lo bikin gue ngerasain punya seseorang yang harus gue lindungi selain Umi." Tutur Mahendra lalu membungkuk dan mencium punggung tangan mungil yang sedari tadi ia genggam itu, "terlepas dari apapun agama lo, gue tetap nganggep lo adalah adek gue yang harus gue lindungi."
Alviano tak mampu berkata-kata, matanya kembali berkaca-kaca, entah mengapa perkataan Mahendra berhasil membuat gemuruh di dadanya hilang seketika, rasa takut itu pergi begitu saja, semuanya lenyap seketika sebab pemuda sang pemilik tahta tertinggi di hidupnya itu.
Cup!
Sebuah kecupan pada keningnya Alviano dapati dan itu sukses membuat Alviano ingin berteriak saat ini juga.
"Kalo lo mau belajar serius, gue siap jadi imam dan ngajari sholat sama lo."
Seketika wajah Alviano memerah, ia tak mampu menggambarkan bagaimana rasa bahagianya saat ini, dunia terasa merestui dirinya untuk kembali hadir di hidup Mahendra.
"Ya Tuhan, tolong yakinkan aku untuk memilih bertahan dengan mu atau pergi kepada Tuhan yang sama dengan orang yang ku cintai."
* * * * *
Jangan lupa vote, komen dan follow yak
Terima kasih 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
365 Hari
RomanceIzinkan aku egois sekali saja, sebab belum puas aku mencintaimu dan memilikimu seutuhnya.